Rabu, 05 Juni 2013

Hutan Bambu, Menjaga Sumber Air


Gambar : Hutan bambu di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro


Cerita mengenai kekeringan saat ini hampir tak ada putusnya. Mulai dari warga mengantre air bersih berjam-jam, lahan pertanian rusak, tanaman padi yang puso, pemanfaatan air sungai yang kotor untuk keperluan sehari-hari, hingga merebaknya beragam penyakit tanaman akibat musim kering.
Namun, tidak halnya bagi warga Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang (sejauh 40 kilometer dari pusat kota Lumajang). Kini, mereka tidak lagi menderita kekurangan air, baik musim kemarau maupun hujan.
Saat di beberapa tempat, waduk dan sumur mulai mengering, gemercik air di sawah-sawah di Sumbermujur tidak pernah berhenti. Dari sawah terdekat dengan Gunung Semeru (8 kilometer dari Gunung Semeru), hingga ke sawah-sawah di kampung lainnya (berjarak lebih dari 50 kilometer dari Gunung Semeru) selalu terima suplai air.
Hal itu terjadi karena mata air Sumber Delling tidak pernah berhenti mengalirkan air bersih baik untuk minum maupun irigasi. Mata air yang berasal dari Gunung Semeru itu saat kemarau seperti ini masih bisa mengeluarkan air bersih 600-800 liter air per detik. Pada musim hujan, debitnya mencapai 1.000 liter air per detik. Mata air tersebut berada di tengah hutan bambu seluas 14 hektar.
”Ini semua hasil kerja keras kami selama ini. Tahun 1970-an, mata air di sini debitnya hanya 300 liter per detik. Kini air melimpah dan semoga saja tak pernah mengecil lagi,” kata Hery Gunawan, tokoh masyarakat di sana, Jumat (9/9).
Tahun 1970-an situasi ekonomi Indonesia tidak bagus. Masyarakat umumnya makan bulgur, dan mata pencaharian warga Desa Sumbermujur umumnya sebagai pembuat gedek atau dinding dari anyaman bambu. Tak heran jika kemudian hutan bambu setempat nyaris dibabat habis untuk kebutuhan harian warga setempat.
Menilik lokasi hutan bambu yang dikitari empat dusun, tidak heran laju pembabatan bambu sangat cepat. Kala itu dalam satu rumpun hanya tersisa 20 batang bambu, padahal sebelumnya terdapat puluhan rumpun yang terdiri dari puluhan batang bambu juga.
Di sisi utara hutan bambu adalah Dusun Umbulrejo, sisi selatan adalah Dusun Umbulsari, sebelah timur adalah Dusun Krajan, dan bagian barat merupakan Dusun Wonorenggo. Empat dusun itu berada di Desa Sumbermujur.

Saat kritis
Dampak pembabatan bambu demi alasan ekonomi langsung terasa. Debit air Sumber Delling mengecil. Bahkan setiap malam masyarakat setempat dengan penerangan obor harus pergi ke sumber untuk antre air bersih, karena pada siang hari air yang ditampung belum cukup untuk memenuhi kebutuhan malam itu hingga esok harinya.
”Saat itu air digilir untuk setiap dusun. Mungkin dalam seminggu hanya tiga kali air mengalir ke satu dusun. Ini jelas menyusahkan kami sebagai petani. Kalau ingin panen, tiap malam kami harus berebut mendapatkan air. Tidak jarang juga terjadi carok (perkelahian) gara-gara rebutan air,” kenang Kusman (55), petani asal Desa Sumbermujur.
Melihat kondisi itu, nurani warga mulai terketuk. Meski punya sawah, tapi kalau sulit air, maka hasil pertanian tidak akan maksimal. Itu sebabnya, tahun 1975-1976 warga mulai menanami hutan tersebut dengan bambu.
Bersama Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam (KPSA) Kali Jambe, selaku inisiator pelestari hutan bambu, masyarakat pun aktif mendukung pelestarian hutan bambu.
Bukan itu saja. Warga bahu-membahu membuat plengsengan pelindung mata air, menata hutan bambu tersebut agar nyaman dikunjungi orang, dan rutin menjaga hutan tersebut agar tidak dirusak orang. Semuanya swadaya masyarakat. Diakui, saat itu belum ada dukungan dari pemerintah daerah.
”Tanaman bambu jadi pilihan kami karena jenis ini dinilai paling sedikit risikonya dibanding menanam tanaman keras,” tutur Hery Gunawan, Ketua KPSA Kali Jambe Sumbermujur.
Risiko di sini maksudnya, jika terjadi pembabatan hutan seperti tahun 1990-an, tanaman bambu akan tumbuh kembali dengan cepat dalam lima tahun. Sementara tanaman keras seperti beringin butuh waktu puluhan tahun untuk bisa tumbuh besar kembali.
Artinya, kalaupun hutan bambu dibabat habis oleh massa, maka dalam waktu lima tahun saja warga akan kesulitan air bersih. Lain halnya jika sumber air di sana dilindungi tanaman keras. Bisa puluhan tahun warga terkena dampak kekurangan air bersih.
Lambat laun, dari semula hanya bambu apus saja yang jadi tanaman asli di hutan bambu tersebut, kini setidaknya sudah ada 21 jenis bambu tumbuh subur di hutan tersebut. Seperti bambu jenis ampel hijau, ampel kuning, hingga bambu thailand.

Suasana sejuk
Puluhan rumpun bambu yang menjulang tinggi dan rimbun menghadirkan nuansa sejuk. Kesejukan itu semakin lengkap saat terdengar gemercik air saat kita mulai berjalan ke tengah hutan.
Bahkan saking sejuknya, hutan bambu ini juga jadi rumah bagi puluhan kera dan kelompok kelelawar. Kera-kera ini sesekali turun menyapa pengunjung.
Seiring dengan kembali rimbunnya hutan bambu, maka debit air Sumber Delling pun kembali meningkat. Kini air dari Sumber Delling mengaliri 426 hektar sawah di Sumbermujur, dan sawah-sawah di tiga desa lain, yaitu Desa Penanggal, Desa Tambakrejo, dan Desa Kloposawit. Total ada 891 hektar sawah yang memanfaatkan air dari Sumber Delling.
Jumlah itu masih ditambah dengan 561 hektar sawah di Desa Pandanwangi, Kecamatan Tempeh Lumajang (berjarak 50 kilometer dari Desa Sumbermujur) yang juga mengambil air dari sumber ini. ”Mereka mengambil air dari sumber kami dengan mobil-mobil tangki setiap hari selama 24 jam,” kata Hery.
Untuk kebutuhan air minum, ribuan keluarga dari desa-desa di lereng timur Semeru bergantung pada hidup dari mata air Sumber Delling setiap harinya.
Melihat eratnya hubungan antara hutan bambu dan sumber air, warga Desa Sumbermujur pun berusaha melindungi kawasan tersebut dengan membuat Peraturan Desa Nomor 6 Tahun 2007. Peraturan itu berisi kawasan Sumbermujur tak boleh ”disentuh”, baik flora maupun faunanya. Jika melanggar, pelaku akan dikenai sanksi sesuai hukum lingkungan, yaitu hukuman badan atau denda Rp 500 juta.
Untuk membuat warga desa merasa memiliki hutan bambu, kini kawasan tersebut diarahkan menjadi hutan wisata. Masyarakat setempat mendapat penghasilan dari retribusi masuk ke hutan bambu dan berjualan makanan kecil di sana. Pendatang pun senang karena bisa menikmati keasrian hutan bambu serta berenang di kolam alami dengan air langsung dari sumber.
”Kalau begini, warga sekitar akan merasa memiliki dan turut menjaga hutan bambu. Semoga dengan upaya ini, mata air kami akan tetap lestari,” ujar Herry.
Belajar dari pengalaman pahit, warga Sumbermujur pun mau berubah. Dari semula menjadi perambah, kini jadi penjaga hutan bambu. Manfaatnya nyata! Saat warga lain tersiksa kekeringan, warga Sumbermujur berlimpah air bersih. Semoga upaya pelestarian alam ini menginspirasi warga lain di daerah lainnya.


Sumber : Dahlia Irawati, Kompas Jumat, 23 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar