Pertanian organis yang dirintis
Pusat Pengembangan Organis di Tugu Selatan, Cisarua, tahun 1984 itu sudah
merambah ke berbagai daerah. Di Lombok, di Jawa Tengah khususnya kawasan
Magelang, di Bali petani mengusahakan pertanian organis. Di sejumlah mal
tersedia gerai produk hasil pertanian organis, juga di beberapa toko khusus.
Pertanian organis pada awal-awal reformasi bahkan bentuk kemandirian petani, bahasa politiknya demokratisasi petani. Pada zaman Orde Baru, petani terpaksa merelakan tanaman organisnya dibabat aparat. Mereka harus menanam tanaman dan cara yang ditentukan pemerintah. Bibit dan cara tanam ditentukan pemerintah. Seragam!
Konsep penyeragaman tabu untuk zaman reformasi. Petani bisa menentukan sendiri jenis dan bibit usaha taninya.
Dalam suasana seperti itu usaha tani organis berkembang pesat, terutama pada awal-awal tahun 1999, berlanjut hingga sekarang. Awal tahun 2000 pemerintah bermaksud baik. Ingin melakukan standardisasi dan sertifikasi. Tujuannya agar konsumen tidak tertipu. Produk sayuran dan biji-bijian yang beredar di pasar benar-benar dari hasil usaha organis, yakni alamiah, tidak pakai pupuk buatan pabrik, tidak pakai insektisida buatan pabrik. Awalnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian, menanyakan dan mengajak bekerja sama dengan perintis pertanian organis di Tugu Selatan, yang sejak berdiri sampai sekarang ditangani Pastor Agatho Elsener OFM Cap.
Ajakan itu tidak serta-merta lancar. Menurut Agatho, pertanian organis tidak sekadar bercocok tanam secara alamiah, tanpa pupuk buatan pabrik, tanpa insektisida buatan pabrik. Pertanian organis tidak sekadar sertifikasi, tetapi sikap. Perlu perubahan besar. Sementara Departemen Pertanian lewat program Go Organic 2008 mendefinisikan pertanian organis sekadar nonkimia, nonpestisida. Perbedaan konsep sebagai dasar program membuat Agatho ditinggalkan begitu saja. Tahu-tahu ada tiga perusahaan yang memperoleh izin menstandarkan dan memberikan sertifikasi produk organis.
Awal November lalu Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengunjungi Pastor Agatho. ”Saya berterima kasih atas kunjungan itu. Dua hal dia singgung. Pertama soal program Go Organic 2010, kedua tentang pertanyaan training yang diselenggarakan di Pertanian Organis di bawah payung Yayasan Bina Sarana Bakti,” katanya kepada Kompas. ”Kami sudah menghasilkan alumni lulusan ratusan orang. Mereka kemudian menjadi petani organis di berbagai daerah.”
Pastor kelahiran Scwyz, Swiss, 75 tahun lalu, cucu penemu, pembuat, dan pemilik merek pisau victorinox itu bercerita bagaimana pada awalnya dia dihubungi Syukur Iwantoro dari Departemen Pertanian untuk ikut menangani usaha standardisasi dan sertifikasi pertanian organis di Indonesia. Ketika Syukur Iwantoro pindah ke jabatan baru, program kurang dibicarakan terbuka, kecuali tiba-tiba ada sejumlah perusahaan yang memperoleh lisensi memberi sertifikasi.
”Saya bilang ke Pak Menteri, pengembangan program pertanian organis tidak cukup hanya ditangani Menteri Pertanian, tetapi perlu melibatkan beberapa menteri. Pembentukan otoritas kompetensi sering tidak diuji dulu seberapa jauh lembaga itu punya kompetensi.”
Tambah Agatho, perbedaan pemahaman tentang konsep pertanian organis antara pihaknya dan pemerintah mungkin menjadi penyebab dia ditinggalkan.
Tidak berlatar belakang pertanian tetapi ilmu ketuhanan dan punya obsesi mengembangkan pertanian organis di Indonesia, Agatho tidak keberatan bekerja sama. Dia tawarkan usahanya—awalnya hanya 4 hektar sekarang 6 hektar sudah digarap sebagai kebun percobaan milik yayasan—dijadikan proyek percontohan. Caranya, ada orang Departemen Pertanian yang terlibat dalam pengelolaan sehari-hari. Luas lahan seluruhnya 12 hektar tetapi baru digarap 6 hektar dengan sekitar 100 karyawan itu sebulan rata-rata menghasilkan Rp 100 juta. Surat yang dikirim akhir November 2007 tidak ada tanggapan, sampai-sampai Agatho putus asa.
Kejengkelan
Di tengah kejengkelan dan putus asa, awal Februari ini Agatho diterima pejabat Departemen Pertanian yang mengurusi pertanian organis. ”Saya diterima setelah lebih dari 50 kali menelepon,” kata Agatho, pekan lalu. ”Mereka mau bekerja sama dan mendukung usaha kami.” Bentuk dan syaratnya belum dibicarakan, termasuk perlunya titik temu perbedaan konsep pertanian organis. ”Ini langkah yang bagus, ada kemajuan, dan kami merasa berpengalaman sekaligus memiliki lahan paling luas sebab umumnya petani organis paling luas hanya 2 hektar.”
Mengenai konsep pertanian organis, Agatho lewat Pusat Pengembangan Organis di bawah payung Yayasan Bina Sarana Bakti tidak hanya melakukan percobaan, melainkan juga pengkajian dan training. Buku-buku tentang pertanian organis memenuhi kamar kerjanya, selain ruang laboratorium yang mengkaji percobaan-percobaan yang dipimpin dua insinyur pertanian lulusan UGM, Sudaryanto dan Triatmi Sihwinarni, sisa-sisa dari 20 insinyur yang mengawali proyek itu tahun 1984.
”Yang benar organis, bukan organik,” kata Agatho. Organis menggambarkan satu unit/kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang semua teratur, terarah pada kepentingan bersama, yakni harmoni. Pertanian organis tidak hanya nonkimia dan nonpestisida. Bukan juga soal sertifikasi. Pertanian organis menyangkut sikap dan pandangan hidup. Organisme alam terdiri atas binatang, tumbuhan, hutan, dan biotop lainnya. Semua bisa hidup karena dukungan semua organnya, dan setiap organ bertujuan hanya satu, yakni melayani organisasinya. Kalau organ melayani dengan baik, organisme makin sehat.
Oleh Agatho dan teman-temannya, konsep organis dengan analogi tubuh manusia itu dalam usaha tani organis dikembangkan lewat kesatuan antara unsur-unsur kehidupan, iklim, binatang, dan tumbuhan. Pertanian organis menjadi berbiaya murah ketika peternakan dan pertanian jalan bersama sebagai satu kesatuan usaha. Ada peternakan sapi yang menghasilkan kotoran untuk pupuk, hasil sayuran yang bisa jadi bahan makan untuk binatang.
”Nah, pertanian organis menyangkut sikap dan pandangan hidup sehingga pertanian organis adalah keniscayaan bagi kelestarian alam. Intensifikasi pertanian sebagai pengembangan dari slogan Revolusi Hijau dalam praktik adalah memperlakukan alam dengan kerakusan besar, mengakibatkan usaha tani rentan hama dan pergantian iklim,” jelas Agatho.
Menyaksikan petak-petak lahan percobaan dengan berbagai jenis sayuran organis di Pusat Pengembangan Organis, spontan terkesan tanaman kurang terawat. Bukan hijau tua subur, tetapi terlihat kurus, sedikit layu, kurang pupuk. ”Ini memang kesan umum tanaman organis. Berbeda dengan sayuran yang dipupuk dengan pupuk pabrik dan insektisida buatan pabrik,” kata Sudaryanto, tangan kanan Agatho, insinyur pertanian tetapi merasa pengetahuan tentang ilmu pertaniannya kalah jauh dibandingkan dengan Agatho. ”Romo Agatho itu sudah sekelas lulusan doktor,” katanya.
Menurut Sudaryanto, dalam situasi global, membangun pertanian, khususnya bagi petani, harus dimulai dari yang kecil. ”Untuk menjadi petani yang sukses, harus dimulai saat ini, yakni menjalankan pertanian berwawasan lingkungan dan pertanian organis dalam praktik.” Kalimat itu meluncur spontan, mengutip Y Wartaya Winangun SJ, pimpinan Kursus Pertanian Taman Tani, Salatiga (Membangun Karakter Petani Organik yang Sukses dalam Era Globalisasi, Kanisius, 2005). Membangun karakter petani yang sukses butuh tiga M, Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, Mulai dari saat ini. Keberhasilan yang besar diawali dari keberhasilan kecil-kecil.
Mengenai sertifikasi, seperti Agatho, Sudaryanto melihat, masalah cap berurusan dengan izin atau lisensi dan pungutan; kurang lebih itulah pandangan yang berkembang umum. Pemegang lisensi yang saat ini dimiliki tiga perusahaan seharusnya mengontrol saja usaha tani organis, apalagi pengalaman dan kompetensi mereka tentang pertanian organis belum teruji.
Biarkan petani yang mengembangkannya dalam konsep yang lebih utuh, tidak sekadar tanpa pupuk pabrik, tanpa obat kimia. Beberapa petani bersama-sama membangun kemandirian, termasuk menjamin produk sayurannya adalah organis. Sementara kalau pemegang lisensi hanya duduk di belakang meja dan main kasih stempel, sertifikasi sayuran organis bisa saja berasal dari bukan usaha pertanian organis.
Perintisan pertanian organis di Cisarua tidak selesai dengan begitu berkembangnya usaha tani organis, tidak sekadar utopia melawan Revolusi Hijau yang saat ini berkembang di berbagai daerah. Agatho, Sudaryanto, Triatmi bersama seratus karyawannya selain masih berjuang menjelaskan tentang konsep organis seperti yang seharusnya, kini berjuang agar hasil usaha organis tidak dimanipulasi oleh sertifikasi.
”Dengan pertemuan awal Februari di Jakarta itu, kami masih berharap bisa memberikan masukan, selain masalah sertifikasi juga pertanian organis tidak sekadar usaha tani tanpa pupuk pabrik, tanpa obat kimia,” jelas Agatho Elsener, ahli pemuliaan tanah, otodidak ilmu pertanian, pastor Ordo Fransiskan yang ditahbiskan tahun 1958, datang di Indonesia tahun 1960, memperoleh kewarganegaraan Indonesia tahun 1983. (St Sularto)
Sumber: Kompas,
21 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar