Jumat, 14 Juni 2013
Baluran, Pergulatan "Africa van Java" di Timur Jawa
Mentari beranjak tinggi saat Hendri Reskyono (49) dan sejumlah polisi hutan menyusup ke rerimbunan hutan akasia di kawasan Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Sepatu bot dan golok tebas melengkapi perjalanan mereka.
Tak lama kemudian, ”Braaak...!” Sebatang pohon berdiameter sekitar 20 sentimeter pun tumbang. Aksi penebangan ini bukan perusakan lingkungan. Itu bagian dari aksi menyelamatkan ekosistem savana di Baluran yang terus tergusur akibat masifnya pertumbuhan akasia (Acacia nilotica).
”Supaya tidak tumbuh lagi, bekas tebangan pohon akasia ini harus dilumuri cairan herbisida,” ujar Hendri, Rabu (17/4/2013).
Apa yang dilakukan polisi hutan ini adalah bagian dari upaya mempertahankan jati diri Baluran. Sebagai salah satu taman nasional tertua di Indonesia, Baluran lekat dengan julukan ”Africa van Java”.
Hamparan savana, satwa liar, dan sengatan mataharinya yang terik, membuat pesonanya bak alam liar Afrika. ”Suhu saat musim kemarau bisa 40 derajat celsius,” kata Kepala Taman Nasional Baluran Emy Endah Suwarni.
Berjarak 253 kilometer dari Surabaya, Taman Nasional (TN) Baluran cukup mudah dijangkau karena terletak di tepi jalur pantai utara Jawa Timur. Letaknya di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, berbatasan dengan Banyuwangi.
Dari luas TN Baluran yang mencapai 25.000 hektar, awalnya sekitar 10.000 hektar di antaranya berupa savana yang terbentang di berbagai penjuru taman nasional. Savana menjadi habitat banteng jawa (Bos javanicus), rusa timor (Cervus timorensis), hingga kerbau liar (Bubalus bubalis).
Salah satu savana terbesar di Baluran adalah savana Bekol, seluas 300 hektar. Dari pintu gerbang taman nasional, pengunjung hanya perlu menempuh jarak 12 kilometer untuk masuk ke Bekol. Gunung Baluran setinggi 1.247 meter di atas permukaan laut (mdpl) menjulang kokoh di hadapan savana ini.
Namun, savana di Baluran, termasuk Bekol, kini terancam oleh ekspansi akasia. Pesatnya pertumbuhan akasia di Baluran berawal ketika seringnya kebakaran melanda Baluran pada akhir tahun 1960-an. Pihak TN Baluran kemudian berinisiatif menanam akasia yang berfungsi sebagai sekat bakar untuk mencegah api menjalar.
Akasia yang tumbuh berjajar mengelilingi savana berhasil menjadi sekat bakar yang efektif. Namun, tanaman yang semula kawan ini menjelma menjadi gulma karena pertumbuhannya invasif dan tak terkendali. Tak hanya api yang diredam, savana pun turut dihabisi.
Luas savana yang semula 10.000 hektar kini tinggal 3.000 hektar. Khusus savana Bekol yang awalnya seluas 500 hektar menyusut menjadi 300 hektar. Penyusutan savana ini diikuti berkurangnya populasi hewan, terutama banteng jawa.
Berdasarkan sensus satwa TN Baluran tahun 1996, populasi banteng jawa mencapai 338 ekor. Namun, sensus tahun 2012 menyebutkan jumlahnya tinggal 26 ekor. ”Menyusutnya savana membuat sumber air dan pakan bagi banteng makin terbatas,” ucap Emy yang belum pernah melihat langsung banteng jawa.
Tahun 1986, pengunjung dan petugas dapat dengan mudah menemukan kerumunan banteng dari atas menara pandang. Namun, saat ini, banteng sangat sulit ditemui.
Daya tarik wisata
Meski berpacu dengan waktu menghadapi dahsyatnya akasia, Baluran tetap menjadi magnet bagi pengunjung. Hal ini terlihat dari peningkatan angka kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun. Jumlah pengunjung tahun 2010 sebanyak 15.188 orang, kemudian melonjak menjadi 28.851 orang pada 2011 dan 32.674 orang pada 2012.
Nama Baluran bahkan telah mendunia. Turis asing pun silih berganti mendatangi tempat ini. Contohnyai Jack (39) dan Imagine (39), pasangan kekasih dari London, Inggris, yang singgah ke Baluran dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Bali. ”Kami ingin lihat binatang liar dan savana. Ternyata sangat menyenangkan,” kata Jack.
”Serasa di alam liar. Itu baru saja lihat rusa saat safari malam,” ujar Berbudi Bintang Pratama (17), siswa kelas XI SMA Madania Bogor, Jawa Barat. Bintang bersama 48 siswa jurusan Biologi SMA Madania mengunjungi Baluran dalam rangka studi lapangan.
Seorang polisi hutan, Siswanto, mengatakan, tidak setiap saat satwa liar di Baluran dapat dengan mudah ditemui. Untuk itu, pihak taman nasional sengaja membuat kubangan sebagai tempat minum satwa sehingga mereka berkumpul.
Binatang buas, seperti macan tutul dan kucing bakau, sebenarnya masih ada meski sulit sekali ditemui. Jauh sebelum ditetapkan sebagai taman nasional pada 1982, kawasan ini terkenal dengan binatang buas yang berkeliaran di padang ilalang.
Penjelajah Inggris, John Joseph Stockdale, dalam buku Island of Java menuliskan, jalan dari Ketapang, Banyuwangi, menuju Panarukan tahun 1805 pada kedua sisinya diapit oleh ilalang yang rapat. Dalam perjalanannya, dia melewati gurun, padang rumput, dan sungai. Jejak harimau pun mudah ditemui.
Sebagai areal yang dilindungi, Baluran terbagi atas tujuh zona, yakni zona inti seluas 6.920 hektar, zona rimba (12.604 hektar), zona perlindungan bahari (1.174 hektar), zona pemanfaatan (1.856 hektar), zona tradisional (1.340 hektar), zona rehabilitasi (365 hektar), dan zona khusus (738 hektar). Kebanyakan satwa berada di zona inti dan rimba.
Baluran juga memiliki hutan pantai, mangrove, hutan rawa asin, hutan payau, hutan hujan tropis pegunungan, hutan musim, padang lamun, dan gugusan terumbu karang.
Sejumlah ekosistem itu membuat Baluran memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Taman nasional ini dihuni setidaknya oleh 461 spesies flora, 28 jenis mamalia, dan 225 jenis burung. Belum lagi beragam jenis ikan dan reptil.
Namun, kekayaan flora dan fauna ini terancam tenggelam jika bumi Afrika di Jawa ini kehilangan identitasnya, yakni ekosistem savana. Inilah pergulatan akibat kekeliruan masa silam.
Sumber : Kompas.com, Minggu, 5 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar