Nelayan Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo,
Banyuwangi, Jawa Timur, sebenarnya sosok yang sederhana. Namun, mereka mampu
mengembalikan kawasan terumbu karang di Selat Bali yang rusak untuk kehidupan
berbagai jenis ikan hias. Sebab, di situlah mereka bergantung sebagai pencari
ikan hias.
Gambar : Nelayan Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur
Namun, yang patut dipuji adalah
langkah untuk mengembalikan lingkungan tempat tinggal, yang sekaligus juga
tempat usaha mereka, sama sekali tidak mengandalkan bantuan pemerintah. Mereka
melakukannya bersama-sama secara swadaya dan swadana.
Padahal, sebagai nelayan pencari
ikan hias, penghasilan mereka rata-rata tak lebih dari Rp 50.000-Rp 100.000 per
hari. Namun, mereka mau menyisihkan penghasilan yang pas-pasan, serta waktu
saat mereka tak melaut, untuk menyelamatkan kawasan terumbu karang.
Bicara soal penyelamatan kawasan terumbu karang di Selat Bali, tentu tak bisa jika tidak menyebut nama Ikhwan Arief, yang menjabat Ketua Kelompok Nelayan Ikan Hias Samudera Bakti Desa Bangsring. Ikhwan-lah tokoh yang memprakarsai penanaman kembali terumbu karang yang pernah rusak akibat usaha penangkapan ikan yang salah, di antaranya menggunakan bom.
”Sejak tahun 1970-an, penangkapan ikan menggunakan bom dan bahan kimia marak terjadi. Akibatnya, terumbu karang di kawasan ini rusak. Waktu itu, angka kerusakan terumbu karang mencapai 82,5 persen dari 140 kilometer Selat Bali,” kata Ikhwan, awal Maret lalu.
Bicara soal penyelamatan kawasan terumbu karang di Selat Bali, tentu tak bisa jika tidak menyebut nama Ikhwan Arief, yang menjabat Ketua Kelompok Nelayan Ikan Hias Samudera Bakti Desa Bangsring. Ikhwan-lah tokoh yang memprakarsai penanaman kembali terumbu karang yang pernah rusak akibat usaha penangkapan ikan yang salah, di antaranya menggunakan bom.
”Sejak tahun 1970-an, penangkapan ikan menggunakan bom dan bahan kimia marak terjadi. Akibatnya, terumbu karang di kawasan ini rusak. Waktu itu, angka kerusakan terumbu karang mencapai 82,5 persen dari 140 kilometer Selat Bali,” kata Ikhwan, awal Maret lalu.
”Demplot” restorasi
Menurut dia, secara rutin sejak tahun 2008, nelayan Desa Bangsring, bersama dengan lembaga swadaya masyarakat pemerhati lingkungan, yaitu Pelangi Indonesia dan Pilang, mencoba menyelamatkan kawasan terumbu karang tersebut. Langkahnya dilakukan dengan memperbaiki ekosistem laut yang rusak melalui penanaman bibit terumbu karang.
Penanaman bibit terumbu karang dilakukan dengan cara merestorasi bibit karang di lokasi uji coba, yang disebut demonstration plot (demplot), untuk dapat menjadi terumbu karang.
Pertama, mereka membuat demplot-demplot terumbu karang yang terbuat dari pipa paralon yang disambung-sambung dengan membentuk bujur sangkar. Selanjutnya, di bagian tengah setiap demplot yang berbentuk bujur sangkar itu dipasang senar atau kawat baja secara vertikal dan horizontal seperti jaring. Kemudian, di setiap titik temu senar itulah dipasangi pot semen yang sudah ditanami bibit terumbu karang.
Bibit-bibit terumbu karang tersebut lalu ditanam di bawah laut agar bisa berkembang. Nelayan membawa bibit terumbu itu ke tengah laut dan memasangnya di dalam laut. Biasanya, cara ini dilakukan di laut yang tak terlalu dalam. Untuk menyelam ke laut dan memasang demplot-demplot yang sudah ditempeli bibit terumbu karang, nelayan menggunakan peralatan sederhana.
Meskipun penanaman bibit terumbu karang itu butuh waktu dan biaya, pada akhirnya nelayan bisa melakukannya sendiri. Pembiayaan pembuatan demplot ditanggung bersama dengan iuran untuk membeli pipa paralon dan semen. Besaran iuran ditentukan dari banyaknya terumbu karang yang akan ditanam. Adakalanya, untuk membuat satu demplot yang berisi 16 terumbu karang, mereka harus merogoh kocek Rp 10.000-Rp 20.000 per orang. ”Namun, iuran bukan yang utama, yang penting adalah kerja samanya,” ucap Ikhwan.
Sistem adopsi juga dilakukan untuk meringankan cicilan yang harus dibayar nelayan. Dengan sistem ini, setiap warga atau pihak lain bisa memberikan donasi untuk kegiatan penyelamatan lingkungan terumbu karang. Mereka yang ikut memberikan donasi dijuluki ”bapak asuh terumbu karang”.
”Dengan Rp 100.000, mereka yang dijuluki bapak asuh ini bisa ikut menanam satu bibit terumbu karang. Nama mereka dicantumkan di demplot,” ujar Ikhwan.
Cara tersebut ternyata lebih murah dan sederhana dibandingkan metode yang ditempuh pemerintah dengan cara menenggelamkan beton yang nilainya ratusan juta rupiah. Hanya dengan modal mulai dari Rp 1 juta-Rp 2 juta, nelayan Bangsring bisa bersama-sama menumbuhkan terumbu karang di laut.
Dari catatan Ikhwan, tahun lalu, jumlah ”bapak asuh terumbu karang” mencapai 200 orang lebih. Artinya, ada 200 lebih bibit terumbu karang yang telah ditanam di Selat Bali tersebut. Kegiatan ini pun mendapat dukungan dari berbagai kalangan.
Selain menerapkan sistem program bapak asuh, para nelayan di Bangsring juga menerapkan kebijakan tersendiri untuk melindungi wilayah terumbu karangnya. Mereka sepakat membuat zona konservasi seluas 5.000 meter persegi di pantai Bangsring, yang tak boleh diganggu. Di zona tersebut, nelayan setahun sekali menebar benih udang dan bandeng. Mereka juga bersepakat untuk tak menangkap ikan di kawasan itu karena merupakan kawasan pembiakan.
”Larangan itu kami berlakukan agar bibit ikan punya kesempatan untuk berkembang biak. Kawasan untuk menangkap ikan sudah cukup luas. Jadi, kalau cuma 5.000 meter persegi untuk dilindungi, ya pastinya tak berat,” kata Amir (33), nelayan Bangsring lainnya.
Menurut dia, secara rutin sejak tahun 2008, nelayan Desa Bangsring, bersama dengan lembaga swadaya masyarakat pemerhati lingkungan, yaitu Pelangi Indonesia dan Pilang, mencoba menyelamatkan kawasan terumbu karang tersebut. Langkahnya dilakukan dengan memperbaiki ekosistem laut yang rusak melalui penanaman bibit terumbu karang.
Penanaman bibit terumbu karang dilakukan dengan cara merestorasi bibit karang di lokasi uji coba, yang disebut demonstration plot (demplot), untuk dapat menjadi terumbu karang.
Pertama, mereka membuat demplot-demplot terumbu karang yang terbuat dari pipa paralon yang disambung-sambung dengan membentuk bujur sangkar. Selanjutnya, di bagian tengah setiap demplot yang berbentuk bujur sangkar itu dipasang senar atau kawat baja secara vertikal dan horizontal seperti jaring. Kemudian, di setiap titik temu senar itulah dipasangi pot semen yang sudah ditanami bibit terumbu karang.
Bibit-bibit terumbu karang tersebut lalu ditanam di bawah laut agar bisa berkembang. Nelayan membawa bibit terumbu itu ke tengah laut dan memasangnya di dalam laut. Biasanya, cara ini dilakukan di laut yang tak terlalu dalam. Untuk menyelam ke laut dan memasang demplot-demplot yang sudah ditempeli bibit terumbu karang, nelayan menggunakan peralatan sederhana.
Meskipun penanaman bibit terumbu karang itu butuh waktu dan biaya, pada akhirnya nelayan bisa melakukannya sendiri. Pembiayaan pembuatan demplot ditanggung bersama dengan iuran untuk membeli pipa paralon dan semen. Besaran iuran ditentukan dari banyaknya terumbu karang yang akan ditanam. Adakalanya, untuk membuat satu demplot yang berisi 16 terumbu karang, mereka harus merogoh kocek Rp 10.000-Rp 20.000 per orang. ”Namun, iuran bukan yang utama, yang penting adalah kerja samanya,” ucap Ikhwan.
Sistem adopsi juga dilakukan untuk meringankan cicilan yang harus dibayar nelayan. Dengan sistem ini, setiap warga atau pihak lain bisa memberikan donasi untuk kegiatan penyelamatan lingkungan terumbu karang. Mereka yang ikut memberikan donasi dijuluki ”bapak asuh terumbu karang”.
”Dengan Rp 100.000, mereka yang dijuluki bapak asuh ini bisa ikut menanam satu bibit terumbu karang. Nama mereka dicantumkan di demplot,” ujar Ikhwan.
Cara tersebut ternyata lebih murah dan sederhana dibandingkan metode yang ditempuh pemerintah dengan cara menenggelamkan beton yang nilainya ratusan juta rupiah. Hanya dengan modal mulai dari Rp 1 juta-Rp 2 juta, nelayan Bangsring bisa bersama-sama menumbuhkan terumbu karang di laut.
Dari catatan Ikhwan, tahun lalu, jumlah ”bapak asuh terumbu karang” mencapai 200 orang lebih. Artinya, ada 200 lebih bibit terumbu karang yang telah ditanam di Selat Bali tersebut. Kegiatan ini pun mendapat dukungan dari berbagai kalangan.
Selain menerapkan sistem program bapak asuh, para nelayan di Bangsring juga menerapkan kebijakan tersendiri untuk melindungi wilayah terumbu karangnya. Mereka sepakat membuat zona konservasi seluas 5.000 meter persegi di pantai Bangsring, yang tak boleh diganggu. Di zona tersebut, nelayan setahun sekali menebar benih udang dan bandeng. Mereka juga bersepakat untuk tak menangkap ikan di kawasan itu karena merupakan kawasan pembiakan.
”Larangan itu kami berlakukan agar bibit ikan punya kesempatan untuk berkembang biak. Kawasan untuk menangkap ikan sudah cukup luas. Jadi, kalau cuma 5.000 meter persegi untuk dilindungi, ya pastinya tak berat,” kata Amir (33), nelayan Bangsring lainnya.
Tantangan
Tentu, mengajak masyarakat memelihara ekosistem laut bukan hal mudah. Pada awalnya, masyarakat Desa Bangsring banyak yang tak tertarik untuk mengembalikan kondisi lingkungan kawasan terumbu karang. Namun, akhirnya sedikit demi sedikit nelayan tergerak untuk mulai bergabung setelah melihat hasil nyata dari langkah Kelompok Nelayan Ikan Hias Samudera Bakti menyelamatkan lingkungan.
Salah seorang yang tergerak adalah Imam (38), yang juga warga Desa Bangsring. Ia mengaku awalnya memang tak tertarik dengan kegiatan tersebut. Alasannya, waktu itu ia sibuk mencari ikan. Namun, mereka akhirnya tertarik setelah menyadari sulitnya mencari ikan jika kondisi lingkungan rusak.
”Dulu memang setengah mati cari ikan hias. Sehari hanya mendapat lima atau tujuh ikan. Setelah ada ajakan untuk mengembalikan kondisi ekosistem laut yang bisa berdampak pada ekonomi kami sendiri, saya pun bergabung. Itulah harapan baru,” kata Imam.
Selama ini, ikan hias yang diproduksi nelayan Desa Bangsring di antaranya ikan badut (clownfish) dan ikan scorpion, selain juga banyak jenis lain. Sejak dulu, Desa Bangsring memang tercatat sebagai daerah penghasil ikan hias terbesar di Banyuwangi. Bahkan, ikan-ikan itu menjadi komoditas ekspor ke Jepang, Taiwan, Singapura, dan negara lain.
Tohari (50), nelayan yang kini menjadi kader konservasi pantai Desa Bangsring, mengaku, dulu, saat mencari ikan, ia sering memakai bahan kimia agar mendapatkan hasil banyak. Ketika itu, ia bisa menangkap 20-25 ikan per hari. Namun, karena jumlah ikan di pantai kian menyusut, akhirnya Tohari memilih cara lebih aman untuk menangkap ikan.
Pelajaran berharga sejak nelayan Desa Bangsring aktif dalam penyelamatan ekosistem pantai, praktik penggunaan bom ikan dan racun jauh berkurang.
Menurut Ikhwan, kalaupun ada nelayan yang nakal, yang masih menggunakan bom dan racun untuk menangkap ikan, biasanya dari luar Bangsring.
Pelan-pelan, dampak positif pemeliharaan lingkungan memang mulai dirasakan nelayan setempat. Namun, tantangannya pada masa mendatang adalah mungkinkah langkah mulia ini bisa terus bertahan selamanya? Waktu yang akan menjawab.
Tentu, mengajak masyarakat memelihara ekosistem laut bukan hal mudah. Pada awalnya, masyarakat Desa Bangsring banyak yang tak tertarik untuk mengembalikan kondisi lingkungan kawasan terumbu karang. Namun, akhirnya sedikit demi sedikit nelayan tergerak untuk mulai bergabung setelah melihat hasil nyata dari langkah Kelompok Nelayan Ikan Hias Samudera Bakti menyelamatkan lingkungan.
Salah seorang yang tergerak adalah Imam (38), yang juga warga Desa Bangsring. Ia mengaku awalnya memang tak tertarik dengan kegiatan tersebut. Alasannya, waktu itu ia sibuk mencari ikan. Namun, mereka akhirnya tertarik setelah menyadari sulitnya mencari ikan jika kondisi lingkungan rusak.
”Dulu memang setengah mati cari ikan hias. Sehari hanya mendapat lima atau tujuh ikan. Setelah ada ajakan untuk mengembalikan kondisi ekosistem laut yang bisa berdampak pada ekonomi kami sendiri, saya pun bergabung. Itulah harapan baru,” kata Imam.
Selama ini, ikan hias yang diproduksi nelayan Desa Bangsring di antaranya ikan badut (clownfish) dan ikan scorpion, selain juga banyak jenis lain. Sejak dulu, Desa Bangsring memang tercatat sebagai daerah penghasil ikan hias terbesar di Banyuwangi. Bahkan, ikan-ikan itu menjadi komoditas ekspor ke Jepang, Taiwan, Singapura, dan negara lain.
Tohari (50), nelayan yang kini menjadi kader konservasi pantai Desa Bangsring, mengaku, dulu, saat mencari ikan, ia sering memakai bahan kimia agar mendapatkan hasil banyak. Ketika itu, ia bisa menangkap 20-25 ikan per hari. Namun, karena jumlah ikan di pantai kian menyusut, akhirnya Tohari memilih cara lebih aman untuk menangkap ikan.
Pelajaran berharga sejak nelayan Desa Bangsring aktif dalam penyelamatan ekosistem pantai, praktik penggunaan bom ikan dan racun jauh berkurang.
Menurut Ikhwan, kalaupun ada nelayan yang nakal, yang masih menggunakan bom dan racun untuk menangkap ikan, biasanya dari luar Bangsring.
Pelan-pelan, dampak positif pemeliharaan lingkungan memang mulai dirasakan nelayan setempat. Namun, tantangannya pada masa mendatang adalah mungkinkah langkah mulia ini bisa terus bertahan selamanya? Waktu yang akan menjawab.
Sumber : Kompas.com, Jumat, 15 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar