Jumat, 07 Juni 2013

Penjaga Hutan Anggrek Hitam



Meski dicemooh kurang waras, Ramianto Situl (39) dan keluarga bersikeras merawat hutan anggrek di Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Tak ada keuntungan dia peroleh, hanya keinginan melestarikan anggrek hitam atau ”Coelogyne pandurata” yang menjadi motivasinya. Ramianto bercerita, keluarganya merawat hutan anggrek secara turun-temurun. Ibunya, Yunitha Situl (71), merawat hutan anggrek sejak 1965. Anggrek hitam adalah tumbuhan asli Kalimantan yang semakin sulit ditemukan di habitat aslinya karena banyak diburu orang.

Sebelum dirawat, hanya sedikit anggrek di hutan yang tumbuh alami di areal seluas sekitar 10 hektar itu. Yunitha lalu membayar orang untuk membersihkan lahan karena hutan itu lebat. Pembersihan lahan diperlukan demi membuat jalan setapak untuk memudahkan merawat anggrek di hutan.
Ketika itu penghasilan Yunitha tak seberapa. Ia bekerja sebagai guru Sekolah Dasar Negeri 1 Murutuwu dengan tanggungan 10 anak.
Seiring perhatian sang ibu pada anggrek, sejak masih kecil, Rami, panggilan Ramianto, dan saudara- saudaranya pun terbiasa masuk-keluar hutan membantu sang bunda. Mereka bertugas memindahkan bagian anggrek agar lekas berbiak.
”Hujan atau panas, kami tetap menyetek anggrek. Sampai kami dibilang orang gila karena mau merawat anggrek seperti itu,” kata Rami mengenang.
Hasil kerja keras mereka telah membuat hutan itu rimbun dengan tanaman anggrek. Di sisi lain, risiko terluka karena hewan buas, seperti beruang madu, ular, landak, dan babi hutan, tetap mengintai keselamatan mereka.
Kini, Rami dan empat saudaranya yang tinggal di Murutuwu-lah yang aktif merawat hutan. Meski demikian, saudaranya yang berada di luar Kalimantan Tengah (Kalteng) pun tetap memberikan perhatian pada anggrek di hutan tersebut.

Terdesak sawit
Ketika hutan mulai ramai dikunjungi dan mendapat perhatian publik, warga di sekitar areal ini justru beramai-ramai mengklaim lahan tersebut sebagai milik mereka. Ini terjadi pada 2008.
”Kenapa mereka ribut? Setelah ramai orang, mereka baru mengklaim lahan hutan tersebut. Saya khawatir Murutuwu semakin terdesak oleh keberadaan perkebunan kelapa sawit,” katanya.
Rami yang berpenghasilan sebagai petani karet itu jengkel. Dia yakin, lahan hutan tersebut pasti sudah berubah menjadi perkebunan sawit jika tidak dipertahankan sekuat daya.
Masalah tersebut kemudian dimufakatkan melalui musyawarah desa. Rami sepakat, luas lahan yang dikelola keluarganya menjadi 5 hektar. Itu pun batas lahan milik Rami dan warga lain tidak jelas.
Meski demikian, ia tetap merawat tumbuhan anggrek di hutan. Dia seakan tak peduli apakah tanaman itu berada di lahannya atau bukan. Bagi Rami, tak ada keuntungan materi yang diperoleh dari kegiatan tersebut.
”Bahkan, kami harus keluar uang pribadi, entah sudah berapa jumlahnya. Belum lagi kalau menghitung tenaga yang dikeluarkan. Semua itu tak mengapa, demi kelestarian anggrek hitam,” tuturnya.
Rami semakin tergerak melestarikan anggrek hitam saat ibunya mengikuti Jambore Nasional Pramuka di Jakarta pada 1981. ”Waktu itu Ibu sempat berkunjung ke taman anggrek di Taman Mini Indonesia Indah. Setelah itu, niat kami melestarikan anggrek hitam semakin kuat,” ujarnya.
Alhasil, seiring berjalannya waktu, para peneliti, kru stasiun televisi, staf lembaga swadaya masyarakat (LSM), kolektor, sampai petani pun berbondong-bondong datang ke hutan anggrek tersebut. Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, datang pada 2005. Ada pula peneliti asing yang datang, seperti dari Meksiko, Jerman, dan Inggris.
”Mereka yang datang untuk mengambil anggrek tidak saya izinkan. Saya juga tidak mau menjual anggrek hitam. Saya sungguh cemas, lama-kelamaan anggrek hitam di Kalimantan bisa punah,” tuturnya. Mereka yang berniat mengambil anggrek umumnya datang dengan membawa karung, bahkan bermobil.
Selain itu, banyak pula pemetik anggrek yang masuk ke hutan secara diam-diam. Rami dan keluarganya tidak segan-segan menegur, bahkan memarahi siapa pun mereka. Kecemasan Rami terhadap pencurian kekayaan flora Indonesia itu muncul karena ia khawatir anggrek hitam akan dibawa ke luar negeri dan menguntungkan pedagang asing.

Status hutan
Rami merasa kesal ketika beberapa pihak ingin mengelola hutan tersebut tanpa menghubunginya. Mereka memilih memberi tahu kepala desa. Rami bersikeras dalam hal ini karena yang dia ketahui, hutan itu merupakan habitat tumbuhan anggrek paling lebat di Barito Timur, bahkan di Kalteng.
Upaya Rami memperjuangkan hutan anggrek itu membuahkan hasil dengan keluarnya Keputusan Bupati Barito Timur Nomor 350 Tahun 2006 tentang Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Hak. Keluarga Rami diberi izin dalam pemanfaatan kawasan hutan tersebut.
Dalam keputusan yang dikeluarkan pada 11 Desember 2006 itu disebutkan larangan mengambil anggrek, penebangan pohon, penggunaan alat berat dan peralatan mekanis, serta penambahan jenis tumbuhan yang tidak asli dari daerah setempat.
Namun, keputusan itu hanya berlaku selama lima tahun dan belum diperpanjang. Ketidakjelasan status hutan pun berulang. Oleh karena itu, Rami kembali meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melindungi hutan anggrek dengan memberikan status kawasan konservasi yang legal.
Tak ada sertifikat lahan. Selama ini Rami hanya mengandalkan surat keterangan tanah. Meski demikian, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Barito Timur setidaknya telah menyatakan dukungan agar hutan tersebut bisa dikembangkan menjadi daerah tujuan penelitian dan wisata.
Penelitian itu termasuk untuk pohon-pohon besar. Perawatan hutan yang masih tradisional pun akan dikembangkan secara teknis agar semakin subur.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalteng Muhammad Nur juga berniat membangun pondok untuk wisatawan atau fasilitas penunjang lain. Namun, ia baru bisa melaksanakan niat tersebut jika status kawasan hutan sudah jelas.
”Saya berharap pemerintah bisa segera mengeluarkan keputusan tentang status hutan ini. Kejelasan itu penting agar keberadaan anggrek hitam bisa dipertahankan dan tak diganggu orang. Di sini dukungan Pemerintah Kabupaten Barito Timur amat penting,” kata Rami sambil menyebutkan contoh dukungan yang diharapkan berupa jalan beraspal menuju hutan untuk merawat anggrek.
”Orangtua berpesan agar kami terus merawat hutan itu,” ujarnya menegaskan.
Saat Desa Murutuwu dikepung perkebunan sawit dan banyak warga menjual lahan, Rami tetap berusaha mempertahankan hutan demi kelestarian kekayaan hayati Indonesia.


Sumber : Kompas Selasa, 5 Februari 2013

2 komentar: