Meski dicemooh kurang waras, Ramianto Situl (39) dan keluarga bersikeras
merawat hutan anggrek di Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito
Timur, Kalimantan Tengah. Tak ada keuntungan dia peroleh, hanya keinginan
melestarikan anggrek hitam atau ”Coelogyne pandurata” yang menjadi motivasinya.
Ramianto bercerita, keluarganya merawat hutan anggrek secara turun-temurun.
Ibunya, Yunitha Situl (71), merawat hutan anggrek sejak 1965. Anggrek hitam
adalah tumbuhan asli Kalimantan yang semakin
sulit ditemukan di habitat aslinya karena banyak diburu orang.
Sebelum dirawat, hanya sedikit anggrek di hutan yang tumbuh alami di areal
seluas sekitar 10 hektar itu. Yunitha lalu membayar orang untuk membersihkan
lahan karena hutan itu lebat. Pembersihan lahan diperlukan demi membuat jalan
setapak untuk memudahkan merawat anggrek di hutan.
Ketika itu penghasilan Yunitha
tak seberapa. Ia bekerja sebagai guru Sekolah Dasar Negeri 1 Murutuwu dengan
tanggungan 10 anak.
Seiring perhatian sang ibu pada
anggrek, sejak masih kecil, Rami, panggilan Ramianto, dan saudara- saudaranya
pun terbiasa masuk-keluar hutan membantu sang bunda. Mereka bertugas
memindahkan bagian anggrek agar lekas berbiak.
”Hujan atau panas, kami tetap
menyetek anggrek. Sampai kami dibilang orang gila karena mau merawat anggrek
seperti itu,” kata Rami mengenang.
Hasil kerja keras mereka telah
membuat hutan itu rimbun dengan tanaman anggrek. Di sisi lain, risiko terluka
karena hewan buas, seperti beruang madu, ular, landak, dan babi hutan, tetap
mengintai keselamatan mereka.
Kini, Rami dan empat saudaranya
yang tinggal di Murutuwu-lah yang aktif merawat hutan. Meski demikian,
saudaranya yang berada di luar Kalimantan Tengah (Kalteng) pun tetap memberikan
perhatian pada anggrek di hutan tersebut.
Terdesak sawit
Ketika hutan mulai ramai
dikunjungi dan mendapat perhatian publik, warga di sekitar areal ini justru
beramai-ramai mengklaim lahan tersebut sebagai milik mereka. Ini terjadi pada
2008.
”Kenapa mereka ribut? Setelah
ramai orang, mereka baru mengklaim lahan hutan tersebut. Saya khawatir Murutuwu
semakin terdesak oleh keberadaan perkebunan kelapa sawit,” katanya.
Rami yang berpenghasilan sebagai
petani karet itu jengkel. Dia yakin, lahan hutan tersebut pasti sudah berubah
menjadi perkebunan sawit jika tidak dipertahankan sekuat daya.
Masalah tersebut kemudian
dimufakatkan melalui musyawarah desa. Rami sepakat, luas lahan yang dikelola
keluarganya menjadi 5 hektar. Itu pun batas lahan milik Rami dan warga lain
tidak jelas.
Meski demikian, ia tetap merawat
tumbuhan anggrek di hutan. Dia seakan tak peduli apakah tanaman itu berada di
lahannya atau bukan. Bagi Rami, tak ada keuntungan materi yang diperoleh dari
kegiatan tersebut.
”Bahkan, kami harus keluar uang
pribadi, entah sudah berapa jumlahnya. Belum lagi kalau menghitung tenaga yang
dikeluarkan. Semua itu tak mengapa, demi kelestarian anggrek hitam,” tuturnya.
Rami semakin tergerak
melestarikan anggrek hitam saat ibunya mengikuti Jambore Nasional Pramuka di
Jakarta pada 1981. ”Waktu itu Ibu sempat berkunjung ke taman anggrek di Taman
Mini Indonesia Indah. Setelah itu, niat kami melestarikan anggrek hitam semakin
kuat,” ujarnya.
Alhasil, seiring berjalannya
waktu, para peneliti, kru stasiun televisi, staf lembaga swadaya masyarakat
(LSM), kolektor, sampai petani pun berbondong-bondong datang ke hutan anggrek
tersebut. Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, datang pada 2005.
Ada pula peneliti asing yang datang, seperti dari Meksiko, Jerman, dan Inggris.
”Mereka yang datang untuk
mengambil anggrek tidak saya izinkan. Saya juga tidak mau menjual anggrek hitam. Saya sungguh cemas,
lama-kelamaan anggrek hitam di Kalimantan bisa punah,” tuturnya. Mereka yang
berniat mengambil anggrek umumnya datang dengan membawa karung, bahkan
bermobil.
Selain itu, banyak pula pemetik
anggrek yang masuk ke hutan secara diam-diam. Rami dan keluarganya tidak
segan-segan menegur, bahkan memarahi siapa pun mereka. Kecemasan Rami terhadap
pencurian kekayaan flora Indonesia itu muncul karena ia khawatir anggrek hitam
akan dibawa ke luar negeri dan menguntungkan pedagang asing.
Status hutan
Rami merasa kesal ketika beberapa
pihak ingin mengelola hutan tersebut tanpa menghubunginya. Mereka memilih memberi
tahu kepala desa. Rami bersikeras dalam hal ini karena yang dia ketahui, hutan
itu merupakan habitat tumbuhan anggrek paling lebat di Barito Timur, bahkan di
Kalteng.
Upaya Rami memperjuangkan hutan
anggrek itu membuahkan hasil dengan keluarnya Keputusan Bupati Barito Timur
Nomor 350 Tahun 2006 tentang Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Hak.
Keluarga Rami diberi izin dalam pemanfaatan kawasan hutan tersebut.
Dalam keputusan yang dikeluarkan
pada 11 Desember 2006 itu disebutkan larangan mengambil anggrek, penebangan
pohon, penggunaan alat berat dan peralatan mekanis, serta penambahan jenis
tumbuhan yang tidak asli dari daerah setempat.
Namun, keputusan itu hanya
berlaku selama lima tahun dan belum diperpanjang. Ketidakjelasan status hutan
pun berulang. Oleh karena itu, Rami kembali meminta pemerintah pusat dan
pemerintah daerah untuk melindungi hutan anggrek dengan memberikan status
kawasan konservasi yang legal.
Tak ada sertifikat lahan. Selama
ini Rami hanya mengandalkan surat keterangan tanah. Meski demikian, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Barito Timur setidaknya telah menyatakan
dukungan agar hutan tersebut bisa dikembangkan menjadi daerah tujuan penelitian
dan wisata.
Penelitian itu termasuk untuk
pohon-pohon besar. Perawatan hutan yang masih tradisional pun akan dikembangkan
secara teknis agar semakin subur.
Kepala Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Kalteng Muhammad Nur juga berniat membangun pondok untuk wisatawan
atau fasilitas penunjang lain. Namun, ia baru bisa melaksanakan niat tersebut
jika status kawasan hutan sudah jelas.
”Saya berharap pemerintah bisa
segera mengeluarkan keputusan tentang status hutan ini. Kejelasan itu penting
agar keberadaan anggrek hitam bisa dipertahankan dan tak diganggu orang. Di
sini dukungan Pemerintah Kabupaten Barito Timur amat penting,” kata Rami sambil
menyebutkan contoh dukungan yang diharapkan berupa jalan beraspal menuju hutan
untuk merawat anggrek.
”Orangtua berpesan agar kami
terus merawat hutan itu,” ujarnya menegaskan.
Saat Desa Murutuwu dikepung
perkebunan sawit dan banyak warga menjual lahan, Rami tetap berusaha
mempertahankan hutan demi kelestarian kekayaan hayati Indonesia.
Sumber : Kompas Selasa, 5 Februari 2013
mr ramianto you are a hero...
BalasHapusTerima kasih atas komentarnya.
Hapus