Rabu, 26 Juni 2013

Menanam Beringin, Cerdas atau Putus Asa



Suatu saat saya membaca acara Kelompok Peduli Ciliwung (KPC) dengan nama “mulung beringin” atau mencari bibit pohon beringin untuk di tanam di sekitar aliran sungai Ciliwung. Menarik Sekali. Benar benar pecinta lingkungan pikir saya.

Bahkan banyak pengusaha menawarkan bibit jati, mahoni atau sengon untuk dijadikan sarana penghijauan tetapi para pemuda ini memilih beringin. Apakah tidak terpengaruh dengan banyak iklan yang menawarkan untung berlipat ganda dengan menanam jati, yang menurut iklan dapat dipanen dalam waktu lima, tujuh atau sepuluh tahun dengan keuntungan beratus persen. Ada yang pamer pembibitan dengan kultur jaringan, setek pucuk, akar majemuk, ataupun dengan berbagai istilah jati klon unggul?? Akan mencapai diameter sekian cm dalam waktu 5 tahun misalnya.

Menurut Endes N. Dahlan, seorang dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang melakukan penelitian daya serap karbondioksida pada berbagai jenis pohon. Penelitian yang dilakukan pada 2007-2008 memberikan hasil bahwa Beringin, Ficus benyamina 535,90 kg/tahun no 5 setelah Trembesi, Cassia, Kenanga dan Pingku. Nilai ini lebih besar dari jati sebesar 135,27 kg/tahun.  Jadi sumbangan O2 beringin lebih besar dari jati.

Beringin merupakan tanaman yang memiliki kemampuan hidup dan beradaptasi dengan bagus pada berbagai kondisi lingkungan. Selain itu keberadaan tanaman beringin pada kawasan hutan bisa dijadikan sebagai indikator proses terjadinya suksesi hutan. Beringin juga merupakan tanaman yang memiliki umur sangat tua, tanaman tersebut dapat hidup dalam waktu hingga ratusan tahun. Bahkan ada jembatan yang terbuat dari akar pohon keluarga beringin, contohnya di Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan – Sumatra Barat yang memiliki panjang 25 meter. 



Gambar : Jembatan akar di Kecamatan Bayang Sumatera Barat.

Kerabat beringin termasuk tanaman yang menyimpan air, indikasinya tidak menggugurkan daunnya meski musim kemarau.  Juga kerabat beringin banyak tumbuh disekitar mata air. Mata air Sekendal dan Beji di desa Sindurejan, kecamatan Purworejo kab Purworejo tidak pernah kering walaupun di musim kemarau. Di dekat sendang / mata air ada pohon beringin setinggi 25 meter dengan diameter batang lebih dari 2 pelukan orang dewasa.

Pohon beringin tidak termasuk kayu komersial ataupun bahan untuk arang kayu sehingga tidak menarik bagi pembalak liar. Cara untuk menebang pohon beringin lebih sulit dari kebanyakan pohon lain karena banyaknya akar gantung disekitar pohon. Dengan ini merupakan alasan para pecinta lingkungan untuk menanam beringin untuk penghijauan, normalisasi daerah aliran sungai, penghijauan sekitar mata air atau reboisasi.

Menurut pengalaman banyak kayu trembesi di hutan desa tempat saya lahir telah ditebang pembalak liar. Tapi tidak dengan beringin. Masyarakat desa tidak perlu kuatir dengan pencurian pohon beringin. Yang ada adalah pengambilan bibit beringin, biasanya dilakukan para pebonsai, itu pun mencari yang benar-benar bagus. Di kemudian hari bibit beringin akan menghiasi rumah pebonsai atau sebagai elemen taman dan tetap menyumbang O2 maupun keindahan di lingkungan yang baru. Sementara pohon beringin induk tetap menghasilkan biji-biji yang akan tumbuh di daerah lembab bahkan daerah yang sulit dijangkau, misalnya di celah-celah pohon.

Bibit beringin banyak tumbuh di sekitar pohon induk. Tempat yang lembab banyak ditumbuhi bibit beringin. Teman saya yang asli Plaosan Magetan pernah mengajarkan cara menidentifikasi beringin baru tumbuh walaupun baru punya dua atau tiga daun. Ia juga menunjukkan di got-got dekat pohon induk akan banyak bibit yang tumbuh. ” Daripada nanti bibit mati saat tukang kebun membersihkan got lebih baik diambil dan ditanam dihalaman rumah” nasehatnya. Namun yang lebih cepat adalah dengan mencangkok walaupun tidak punya akar tunjang tapi cepat besar. Tidak perlu susah mencari ke selokan. Bisa juga dengan cara setek. Dengan ini gangguan terhadap ekosistem juga kecil.

Pohon beringin besar juga mendatangkan berkah lain dengan datangnya burung-burung, membuat sarang dan tempat berkembang biak. Suaranya menjadi hiburan tersendiri, alami. Cabang cabang beringin ke arah samping membuat semacam kanopi untuk berteduh. Manfaat lain, banyak juga yang berfoto dibawah pohon beringin besar. Ini saya jumpai di wisata kebun teh Lawang, Malang.

Memang menanam pohon beringin adalah alternatif bagi pecinta lingkungan, terutama dengan adanya pembalakan liar, pencurian kayu dan berbagai perusakan lingkungan lainya. Namun perlu dipertimbangkan lokasi, waktu, dan pemeliharaan. Jangan seperti yang ada di koran-koran : mengundang artis, diliput wartawan, diiklankan satu halaman penuh. Padahal cara penanaman ngawur, asal tanam waktu penanaman bahkan menjelang musim kemarau, sehingga setelah acara berlangsung sudah tidak diketahui nasib tanaman tersebut, apakah hidup, atau mati karena tidak dipelihara atau kekeringan.
 

Rabu, 19 Juni 2013

Pohon Beringin Menjaga Mata Air



Kebijakan pembangunan kota-kota di Jawa jaman dulu di dalam penataan pusat pemerintahan juga tidak lepas dari penanaman prohon beringin. Sekarang dapat dilihat di pusat kota berupa landscape alun-alun lengkap dengan pohon beringinnya, kemudian di sekitarnya adalah pusat pemerintahan dan kantor kepala daerah, masjid besar, dan unit kota lainnya. Di alun-alun, pohon beringin ditanam pada bagian sudut dan beberapa titik lokasi lainnya. Saat ini pohon yang sudha tumbuh besar dan berumur puluhan tahun menjadi pemandangan yang khas karena penampakannya yang besar dan kokoh. Meskipun lebih memiliki fungsi estetika, tetapi sebenarnya fungsi kelestarian dari pohon beringin itu tetap ada, antara lain memberi kesejukan di sekitarnya, menyerap karbondioksida dan mengubahnya menjadi oksigen dan tentu saja menjaga air tanah di sekitar permukaan pohon.
Dari hasil hipotesis menunjukkan adanya gejala bahwa akar tunjang dari pohon beringin yang termasuk dalam marga tanaman ficus itu mampu menyedot air dalam ke atas sehingga bisa memunculkan sumber air yang dangkal.
Ini belum merupakan hasil penelitian, tapi gejalanya seperti itu, yakni setiap ada pohon marga ficus, di situ hampir dipastikan ada mata air. Cuma yang memiliki seperti itu adalah yang ditanam dengan biji, karena yang distek tidak memiliki akar tunjang.
Terbukti di Dusun Ngendut, Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, jika musim kemarau setelah tandon air hujan puluhan kepala keluarga kering tak terisi, mereka mulai mencari air dari akar pohon beringin di dusun setempat.

Upaya ini sudah mereka lakukan sejak enam tahun terakhir, di saat musim kemarau menimpa dusun lereng bukit kapur Tuban tersebut. Aktivitas tahunan ini terjadi, setelah sumur pompa manual di samping sumber di bawah pohon beringin rusak. Mereka tak mampu memperbaiki pompa, akibat keterbatasan ekonomi.
Aktivitas warga mendatangi sumber air di sela-sela dua pohon beringin yang berusia ratusan tahun mulai pagi hingga sore. Warga secara bergantian menimba air dengan tali tampar sepanjang 2,5 meter, sesuai dengan titik terdalam sumber air tersebut.

Beruntung bagi warga Ngendut, sumber air yang debitnya minim itu mengalir sepanjang musim. Apalagi lokasinya berada di antara perkampungan penduduk dusun. Sehingga mereka tidak pelu lagi bersusah payah berjalan jauh dari permukiman. Sumber ini menjadi andalan untuk keperluan air bersih, minum hewan ternak dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Sebenarnya, Desa Bektiharjo memiliki sumber air besar. Yakni sumber air Bektiharjo. Sayangnya lokasi Dusun Ngendut yang berada di atas bukit sejarak 6 Km dari sumber air Bektiharjo, sulit dijangkau warga dusun. Di samping jalan setapak terjal, warga harus naik turun bukit jika akan ke Bektiharjo.

Menurut warga setempat, sudah enam tahun terakhir mereka menimba air dari sumber akar pohon beringin itu. Pompa air yang sudah dipasang warga delapan tahun lalu rusak dan hingga kini tak bisa dipakai. Upaya perbaikan sudah dilakukan namun tak berhasil. Hingga kini pompa manual itu dibiarkan hingga berkarat di samping sumber.

Sumber air itu sendiri, tak bisa ditimba bersamaan. Warga harus antre bergiliran satu per satu mengambilnya. Jika airnya sudah menyusut, mereka harus menunggu dengan sabar sampai air di sumber penuh kembali.

Dua pohon berumur ratusan tahun itu sendiri, sampai kini masih kokoh berdiri. Warga tetap menjaga, agar pohon tersebut tidak dirusak orang. Apalagi dua pohon yang di akarnya mengeluarkan air tersebut, merupakan satu-satunya sumber air di dusun tersebut.
Begitu juga dengan temua tim ekspedisi Bengawan Solo yang diadakan Kompas tahun 2007 menemukan pohon beringin besar disekitar mata air desa Tenggar, desa Jeblogan, Wonogiri Jawa Tengah. Begitu juga tim menemukan pohon beringin berusia puluhan tahun di mata air dusun Ngrampih yang menjadi hulu Kali Gedong yang memasok air ke Bengawan Solo.
Karena itulah upaya menjaga dan melestarikan daerah hulu Bengawan Solo ini telah dilakukan warga setempat sejak bertahun-tahun yang lalu, dengan menanam pohon yang berusia panjang, berdiameter besar, dan bisa menyimpan air, seperti pohon beringin dan bulu.
Penyakralan mata air merupakan salah satu cara melestarikan arti penting sumber air bagi kehidupan dengan pendekatan kearifan lokal sesuai dengan keyakinan masyarakat bersangkutan. Esensinya adalah betapa penting melestarikan sumber air, baik bagi pemenuhan kebutuhan air bersih bagi rumah tangga atau pasokan bagi Bengawan Solo yang menjadi hajat hidup masyarakat luas di 11 kabupaten dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

Banyak konflik di dunia ini disebabkan atau dipicu oleh kelangkaan air. Konflik-konflik yang terjadi diberbagai belahan negara, misalnya di chad sampai Darfur, Sudan, Gurun Oaden, dan Ethiopian, Sumeria dan perompaknya, serta Yaman, Irak, Pakistan, Afganistan, semuanya terletak di busur besar kawasan yang gersang. Dimana tempat-tempat seperti itu yang menyebabkan gagal panen, matinya ternak, kemiskinan ekstrim, dan keputus asaan.

Masalah air ini sangat kursial, dan tidak akan bisa hilang begitu saja. Sebaliknya ia akan memburuk kecuali, kita sebagai masyarakat, memberi respon positif. Serangkaian studi yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan air dibanyak belahan dunia yang mengakibatkan kemiskinan ekstrim.

Sumber :
1. Melestarikan Mata Air dengan Pohon Beringin, Oleh Metro TV News  16 Apr 2011
2. Krisis Air, Warga Tuban Andalkan Mata Air Pohon Beringin, detik Surabaya 27 Feb 2009
3. LIPI Kembangkan 20 Ribu Beringin untuk Selamatkan Sumber Air, ANTARA News


Jumat, 14 Juni 2013

Baluran, Pergulatan "Africa van Java" di Timur Jawa





Mentari beranjak tinggi saat Hendri Reskyono (49) dan sejumlah polisi hutan menyusup ke rerimbunan hutan akasia di kawasan Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Sepatu bot dan golok tebas melengkapi perjalanan mereka.
Tak lama kemudian, ”Braaak...!” Sebatang pohon berdiameter sekitar 20 sentimeter pun tumbang. Aksi penebangan ini bukan perusakan lingkungan. Itu bagian dari aksi menyelamatkan ekosistem savana di Baluran yang terus tergusur akibat masifnya pertumbuhan akasia (Acacia nilotica).
”Supaya tidak tumbuh lagi, bekas tebangan pohon akasia ini harus dilumuri cairan herbisida,” ujar Hendri, Rabu (17/4/2013).
Apa yang dilakukan polisi hutan ini adalah bagian dari upaya mempertahankan jati diri Baluran. Sebagai salah satu taman nasional tertua di Indonesia, Baluran lekat dengan julukan ”Africa van Java”.

Hamparan savana, satwa liar, dan sengatan mataharinya yang terik, membuat pesonanya bak alam liar Afrika. ”Suhu saat musim kemarau bisa 40 derajat celsius,” kata Kepala Taman Nasional Baluran Emy Endah Suwarni.
Berjarak 253 kilometer dari Surabaya, Taman Nasional (TN) Baluran cukup mudah dijangkau karena terletak di tepi jalur pantai utara Jawa Timur. Letaknya di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, berbatasan dengan Banyuwangi.
Dari luas TN Baluran yang mencapai 25.000 hektar, awalnya sekitar 10.000 hektar di antaranya berupa savana yang terbentang di berbagai penjuru taman nasional. Savana menjadi habitat banteng jawa (Bos javanicus), rusa timor (Cervus timorensis), hingga kerbau liar (Bubalus bubalis).

Salah satu savana terbesar di Baluran adalah savana Bekol, seluas 300 hektar. Dari pintu gerbang taman nasional, pengunjung hanya perlu menempuh jarak 12 kilometer untuk masuk ke Bekol. Gunung Baluran setinggi 1.247 meter di atas permukaan laut (mdpl) menjulang kokoh di hadapan savana ini.
Namun, savana di Baluran, termasuk Bekol, kini terancam oleh ekspansi akasia. Pesatnya pertumbuhan akasia di Baluran berawal ketika seringnya kebakaran melanda Baluran pada akhir tahun 1960-an. Pihak TN Baluran kemudian berinisiatif menanam akasia yang berfungsi sebagai sekat bakar untuk mencegah api menjalar.
Akasia yang tumbuh berjajar mengelilingi savana berhasil menjadi sekat bakar yang efektif. Namun, tanaman yang semula kawan ini menjelma menjadi gulma karena pertumbuhannya invasif dan tak terkendali. Tak hanya api yang diredam, savana pun turut dihabisi.

Luas savana yang semula 10.000 hektar kini tinggal 3.000 hektar. Khusus savana Bekol yang awalnya seluas 500 hektar menyusut menjadi 300 hektar. Penyusutan savana ini diikuti berkurangnya populasi hewan, terutama banteng jawa.
Berdasarkan sensus satwa TN Baluran tahun 1996, populasi banteng jawa mencapai 338 ekor. Namun, sensus tahun 2012 menyebutkan jumlahnya tinggal 26 ekor. ”Menyusutnya savana membuat sumber air dan pakan bagi banteng makin terbatas,” ucap Emy yang belum pernah melihat langsung banteng jawa.
Tahun 1986, pengunjung dan petugas dapat dengan mudah menemukan kerumunan banteng dari atas menara pandang. Namun, saat ini, banteng sangat sulit ditemui.

Daya tarik wisata
Meski berpacu dengan waktu menghadapi dahsyatnya akasia, Baluran tetap menjadi magnet bagi pengunjung. Hal ini terlihat dari peningkatan angka kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun. Jumlah pengunjung tahun 2010 sebanyak 15.188 orang, kemudian melonjak menjadi 28.851 orang pada 2011 dan 32.674 orang pada 2012.
Nama Baluran bahkan telah mendunia. Turis asing pun silih berganti mendatangi tempat ini. Contohnyai Jack (39) dan Imagine (39), pasangan kekasih dari London, Inggris, yang singgah ke Baluran dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Bali. ”Kami ingin lihat binatang liar dan savana. Ternyata sangat menyenangkan,” kata Jack.
”Serasa di alam liar. Itu baru saja lihat rusa saat safari malam,” ujar Berbudi Bintang Pratama (17), siswa kelas XI SMA Madania Bogor, Jawa Barat. Bintang bersama 48 siswa jurusan Biologi SMA Madania mengunjungi Baluran dalam rangka studi lapangan.
Seorang polisi hutan, Siswanto, mengatakan, tidak setiap saat satwa liar di Baluran dapat dengan mudah ditemui. Untuk itu, pihak taman nasional sengaja membuat kubangan sebagai tempat minum satwa sehingga mereka berkumpul.
Binatang buas, seperti macan tutul dan kucing bakau, sebenarnya masih ada meski sulit sekali ditemui. Jauh sebelum ditetapkan sebagai taman nasional pada 1982, kawasan ini terkenal dengan binatang buas yang berkeliaran di padang ilalang.
Penjelajah Inggris, John Joseph Stockdale, dalam buku Island of Java menuliskan, jalan dari Ketapang, Banyuwangi, menuju Panarukan tahun 1805 pada kedua sisinya diapit oleh ilalang yang rapat. Dalam perjalanannya, dia melewati gurun, padang rumput, dan sungai. Jejak harimau pun mudah ditemui.
 
 Sebagai areal yang dilindungi, Baluran terbagi atas tujuh zona, yakni zona inti seluas 6.920 hektar, zona rimba (12.604 hektar), zona perlindungan bahari (1.174 hektar), zona pemanfaatan (1.856 hektar), zona tradisional (1.340 hektar), zona rehabilitasi (365 hektar), dan zona khusus (738 hektar). Kebanyakan satwa berada di zona inti dan rimba.
Baluran juga memiliki hutan pantai, mangrove, hutan rawa asin, hutan payau, hutan hujan tropis pegunungan, hutan musim, padang lamun, dan gugusan terumbu karang.
Sejumlah ekosistem itu membuat Baluran memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Taman nasional ini dihuni setidaknya oleh 461 spesies flora, 28 jenis mamalia, dan 225 jenis burung. Belum lagi beragam jenis ikan dan reptil.
Namun, kekayaan flora dan fauna ini terancam tenggelam jika bumi Afrika di Jawa ini kehilangan identitasnya, yakni ekosistem savana. Inilah pergulatan akibat kekeliruan masa silam.



Sumber : Kompas.com, Minggu, 5 Mei 2013

Menabung Air di Rumah



Sudah 15 tahun keluarga Ir. Fatchy Muhammad tak lagi berlangganan air dari perusahaan air minum (PAM). Padahal setiap hari keuarganya butuh 200 liter air untuk kebutuhan sehari-hari. Fatchy juga perlu 72.000 liter air per bulan untuk mengisi kolam renang ukuran 6m x 4m x 1.5m di samping rumah. Fatchy hanya mengandalkan air tanah untuk memenuhi semua kebutuhan air.

Kediaman Fatchy bukan di daerah berlimpah air. Ia tinggal di ibukota Jakarta yang kerap kekurangan air di saat kemarau. "Hampir semua kolam renang di ibukota dipasok air PAM," tutur Fatchy. Yang mengerikan, Jakarta yang menjadi kawasan terpadat di Asia Tenggara ketersediaan airnya kerap tersendat. Tak jarang warga harus membeli air seharga Rp. 60.000 per m3 dari pedagang air keliling yang mengambil air dari daerah lain.

Fatchy tak pernah kurang air karena membuat sumur resapan. Sebuah sumur resapan ukuran 1m x 1m x 2m ia buat di halaman belakang rumah pada tahun 1995. Sumur itu meresapkan air hujan yang jatuh dari langit ke dalam tanah. "Selama ini kita hanya mengambil air tanah tanpa mengisinya kembali. Nah, resapan air hujan itu akan mengisi kembali air tanah yang diambil", ujar alumnus teknik geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Sumur disembunyikan di balik hamparan batu kecil yang ditata mengelilingi taman. Batu ditata lebih rendah ketimbang permukaan tanah taman. Ketika turun hujan, air mengalir melewati hamparan batu, lalu masuk ke sumur resapan", kata Fatchy.






Menabung hujan
 
Saringan lain berupa ijuk yang dipasang pada 5 lubang berdiameter 5 cm di tutup sumur. "Saringan itu untuk mencegah pengendapan tanah sehingga sumur lebih awet", kata Fatchy. Pantas selama 15 tahun sumur itu belum pernah dikeruk. empat tahun lalu Fatchy menambah 3 sumur respan. Maklum, kebutuhan airnya bertambah karena ia membuat kolam renang di samping rumah. ketiga sumur itu dibangun di sekeliling kolam. Sumur ditutup beton dan hanya diberi 1 lubang masuk. Ia juga membuat 1 sumur resapan di taman depan rumah. Di permukaan sumur diletakkkan gentong pot tanah liat untuk menyamarkan sumur dan menjadi salah satu elemen taman.
 

Berkat kehadiran sumur resapan, Fatchy tak pernah kekurangan air saat kemarau. Ketinggian air tanahnya hanya 7m. Warga lain di sekitar rumah mesti menggali hingga lebih dari 30m untuk mendapatkan air tanah. Menurut Dr Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), peran sumur respan sangat penting untuk daerah yang kekurangan air seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup, ketiga pulau itu rawan kekeringan karena jumlah air yang tersedia saat kemarau lebih sedikit ketimbang kebutuhan air penduduk. Jumlah air yang tersedia saat kemarau lebih sedikit ketimbang kebutuhan air penduduk. Jumlah air saat kemarau di Pulau Jawa dan Bali hanya 25,3-miliar m3. Sedangkan kebutuhan air mencapai 38,4-miliar.

Menurut Fatchy, ketiga pulau itu semestinya tak kekurangan air  bila memanfaatkan air hujan sebaik-baiknya. Hitung-hitungan Fatchy, dengan asumsi curah hujan Jakarta rata-rata 2.250 mm per tahun, maka jumlah air hujan mencapai 1,488375-miliar m3/tahun, maka air hujan mencapai itu cukup untuk memmenuhi kebutuhan 20-juta penduduk atau 2 kali jumlah penduduk Jakarta jika dikelola dengan baik.

Selama ini sungai diperlebar agar air hujan segera mengalir ke laut. Artinya, setiap tahun kita selalu membuang-buang air hujan", kata Fatchy yang juga ketua Masyarakat Air Indonesia (MAI). Padahal, jika diresapkan ke dalam tanah, akan menaikkan muka air tanah sehingga saat kemarau tidak menurun drastis dan bisa dimanfaatkan.


Cegah Banjir
   
Sumur resapan juga melindungi rumah Fatchy dari genangan air saat musim hujan. Padahal curah hujan di kediaman Fatchy di Jakarta Selatan mencapai 2.000-3000 mm/tahun. Jumlah itu lebih tinggi ketimbang Jakarta bagian utara yang hanya 1.500-2.000 mm/tahun. "Bagian hujan berhenti, genangan air langsung hilang," katanya.
   
Curah hujan lebih di Jakarta Selatan menjadi ancaman bagi Jakarta Selatan menjadi ancaman bagi Jakarta bagian utara yang merupakan dataran rendah. Luas dataran rendah di Jakarta mencapai 24.000 ha atau 40% dari seluruh wilayah DKI Jakarta. Bahkan, beberapa daerah berada 1m di bawah muka air pasang maksimum.
   
Karena itu air hujan yang berlimpah di bagian selatan mesti "ditahan" agar tidak mengalir ke utara yang lebih rendah. Salah satunya dengan membuat sumur resapan sebanyak mungkin agar sungai tidak menanggung beban aliran air yang berlimpah saat hujan. Itu sebabnya Fatchy getol mengajak warga sekitar membangun sumur resapan. Ia membuat 3 sumur di bawah koridor jalan yang membagi ruas jalan utama di depan rumahnya. "jadi air hujan itu tidak saya alirkan ke got, tapi ke dalam sumur", kata pria yang berprofesi sebagai konsultan geologi tambang itu.
   
Fatchy juga membuat sumur resapan untuk setiap rumah dan beberapa titik di kawasan townhouse yang ia bangun di kawasan Ciputat, Jakarta Selatan. "Saya ingin menciptakan kawasan zero run off  alias tanpa genangan air hujan sama sekali", ujar pria yang baru menekuni dunia properti itu. Konsep itu ternyata berhasil. Sejak dibangun 4 tahun silam, kawasan itu tak pernah tergenang saat musim hujan.

Mahal

  


Sayang sedikit yang mengikuti jejak Fatchy. Tidak mempunyai lahan atau lahannya digunakan untuk bangunan menjadi alasan. Padahal, sumur bisa ditutup dan di atasnya digunakan untuk keperluan lain."Yang penting struktur dinding sumur dan tutupnya kuat untuk menahan bangunan di atasnya, "tambahnya. Tingginya biaya pembuatan menjadi alasan lain. Maklum, biaya membuat sumur berukuran 1m x 1m x 2m mencapai Rp. 1,5 juta - Rp. 2 juta. Itu tergolong mahal untuk golongan ekonomi menengah ke bawah.

   

Menurut Sutopo kendala itu bisa disiasati dengan mencari alternatif bahan yang murah. Contohnya dinding sumur menggunakan bambu yang dianyam membentuk tabung. Cara lain cukup menggali tanah, lalu lubang diisi dengan kerikil. Dr. Ir. Arie Herlambang MS, Kepala Bidang Teknologi Pengelolaan Air dan Limbah Cair BPPT, menyarankan membuat sumur resapan secara kolektif sehingga biaya lebih terjangkau.

   
Pada sumur kolektif ukuran sumur resapan disesuaikan dengan curah hujan, jenis tanah, dan luas kawasan. Jika pada kawasan itu curah hujan 1.000 mm/tahun, untuk lahan 100m2 perlu sumur berkapasitas 1m3. Jika luas sebuah pemukiman 1 ha, kapasitas sumur yang diperlukan adalah 100m3. Volume sumur juga sebaiknya disesuaikan dengan jenis tanah. Bila perpasir, maka air lebih mudah menyrap ke dalam tanah karena porous. Bila berlempung, air lebih sulit terserap sehingga perlu sumur lebih besar.
   
Beberapa pengembang kini mulai membuat danau buatan di lingkungan perumahan. Cara itu sangat baik karena berperan ganda. Selain berperan sebagai sumur resapan, juga menjadi sarana rekreasi. Cukup buat sumur resapan. Air datang, banjir pun hilang.
  

Sumber: Majalah Trubus 489 - Agustus 2010/XLI

Kamis, 13 Juni 2013

Bahaya Atap Rumah dari Asbes



Asbes masih banyak digunakan untuk atap bangunan rumah. Dalam jangka panjang menghirup asbes terus menerus bisa menimbulkan risiko kesehatan. Asbes masuk ke dalam tubuh melalui cara inhalasi.

Dampak bahaya dari menghirup serat asbes tidak bisa dilihat dalam jangka waktu singkat. Terkadang gejala penyakit ini baru muncul dalam waktu 20-30 tahun setelah terpapar serat asbes pertama kali.

Seperti dikutip dari Health.nsw, Jumat (29/1/2010) serat asbes yang terhirup dan masuk ke dalam paru-paru bisa menyebabkan asbestosis (timbulnya jaringan parut di paru-paru), kanker paru-paru dan mesothelioma (kanker ganas yang menyerang selaput mesothelium).

Risiko terkena penyakit ini akan meningkat setara dengan banyaknya jumlah serat asbes yang dihirup. Selain itu risiko kanker paru-paru akibat menghirup serat asbes lebih besar dibandingkan dengan asap rokok.

Ini disebabkan asbes terdiri dari serat-serat kecil yang mudah terpisah, sehingga jika serat tersebut berterbangan di udara dan terhirup oleh tubuh akan berbahaya bagi kesehatan.

Biasanya serat asbes ini bisa menimbulkan risiko kesehatan jika masuk ke dalam tubuh melalui cara inhalasi. Jumlah kecil serat asbes di udara yang dihirup seseorang saat bernapas tidak akan menimbulkan rasa sakit.

Rata-rata orang hanya menghirup asbes dalam jumlah yang sangat kecil dan berisiko rendah terhadap kesehatan. beberapa penelitian menunjukkan asbes yang berbentuk lembaran tidak menunjukkan risiko kesehatan yang berarti.

Orang yang sangat berisiko memiliki gangguan kesehatan akibat asbes umumnya yang bekerja di pertambangan atau industri.

Tapi bukan berarti atap rumah yang terbuat dari asbes tidak berbahaya sama sekali, hanya saja risiko gangguan kesehatannya lebih rendah. Berbagai bentuk material dari asbes membuat tingkatan risiko kesehatan yang berbeda.

Jika serat asbes dalam bentuk yang stabil seperti lembaran dan kondisinya masih baik, maka risiko kesehatannya kecil. Namun jika lembaran tersebut sudah ada yang rusak, berlubang atau salah dalam hal penggunaannya, maka bisa menimbilkan risiko yang lebih tinggi.

Bahan bangunan asbes umumnya digunakan sebagai lembaran semen (fibro), drainase, cerobong pipa, atap rumah atau papan bangunan lainnya. Sejak tahun 1960-an dan 1970-an, serat asbes banyak digunakan oleh masyarakat sebagai isolasi atap rumah.

Untuk mengurangi paparan dari serat asbes dan melakukan pencegahan jangka pendek bisa dengan melakukan beberapa cara:
  1. Menyemprotkan air ke lembaran asbes untuk mencegah tanah, debu atau serat beterbangan di udara.
  2. Menutup asbes dengan lembaran plastik atau terpal untuk menghindari paparan cuaca.
  3. Mencegah anak untuk bermain di atap rumah yang terbuat daria asbes.
  4. Mengganti lembaran asbes yang sudah rusak atau berlubang.
  5. Sebisa mungkin memberikan ruang batas antara asbes denga ruangan dalam rumah.
  
Sumber :  DetikHealth Jumat, 29/01/2010

Rabu, 12 Juni 2013

Pak Tua dan Pohon Bakau


Setelah selamat dari sapuan gelombang tsunami, Baba Akong kembali bangkit dan membangun ‘benteng’ bakau di pinggir pantai.


12 Desember 1992. Ada yang tidak beres, pikir Viktor Emanuel Rayon, saat itu berusia 45. Dia baru saja terbangun dari tidur siangnya tepat pukul dua, dan merasakan firasat yang aneh, seperti sesuatu yang buruk akan terjadi. Dia melangkah keluar dari pondok kecilnya di Teluk Ndete, Flores, Nusa Tenggara Timur, dan melemparkan pandangannya ke langit yang menguning. Tidak ada angin bertiup. Hal ini sangat janggal karena pondok Baba Akong, panggilan akrab Viktor, dan keluarganya hanya berjarak 10 meter dari pesisir pantai.
  
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang besar, dan Baba Akong merasakan tanah yang diinjaknya berguncang keras. Dia membungkuk untuk menyeimbangkan diri, mencoba mencari pegangan agar tidak terjatuh. Belum pernah dia merasakan guncangan sehebat ini, bahkan di tengah laut saat badai sekali pun. Gempa itu berhenti setelah beberapa detik, dan suasana pun sunyi kembali.

  
Dia melihat ke arah laut lepas dan merasa seluruh tubuhnya tertarik menjauhi tepi pantai. Barulah dia tersadar bahwa air laut ternyata surut dengan cepatnya. Seketika Baba Akong memahami semuanya. Seluruh tubuhnya bergetar membayangkan apa yang akan terjadi. Segera dia berdiri dan berlari kembali ke pondoknya. Istrinya, Anselina Nona, 43, telah berada di pintu bersama keenam anak mereka. Wajah mereka tampak ketakutan.
  
“Lari! Lari sekarang!” teriaknya kepada mereka.
  
Baba Akong menggendong anak terkecilnya dan menyuruh yang lain segera melarikan diri ke gunung, yang berjarak beberapa ratus meter dari lokasi mereka. Para tetangga mendatanginya, sama-sama terguncang setelah gempa, bertanya apa yang terjadi. “Ombak besar akan datang! Cepat, naik ke gunung sekarang!” jelasnya cepat-cepat.
  
Mereka langsung mengerti, dan bergegas kembali ke rumah masing-masing untuk mengungsi. Baba Akong sekeluarga berlari sekuat tenaga ke kaki gunung. Anselina memperhatikan bahwa keluarga yang lain berlari membawa harta benda mereka. Selintas dia terpikir untuk kembali, mungkin bisa menyelamatkan beberapa potong baju dan simpanan uang pikirnya. Melihat istrinya yang tampak ragu, Baba Akong berteriak, “Mama Tua, kalau kau kembali ke sana, kau pasti tidak akan selamat. Relakan saja.” Akhirnya, Anselina menurut dan kembali menggiring anak-anaknya memanjat gunung.
  
Mereka baru memanjat sejauh 20 meter, ketika ombak itu akhirnya datang. Ombak yang setinggi pohon kelapa, dan menyapu bersih kedua puluh rumah di dusun Ndete. Baba  sekeluarga berpegangan di sebuah pohon besar sambil berlindung dari bongkahan-bongkahan batu besar yang jatuh dari atas gunung. Sekilas Baba melirik ke arah desanya, yang kini telah terendam air.
  
Dia mengumpat atas gempa sial ini, tapi bersyukur karena terjadi pada waktu siang. Apabila malam, mereka semua pasti sedang tertidur pulas di rumah, dan tidak akan sempat melarikan diri., Hari itu bencana tsunami telah menyapu Pulau Flores.

Malam itu, setelah keluarganya telah aman berada di sebuah sekolah dasar yang menjadi kamp pengungsi darurat, Baba Akong kembali ke sepetak tanah yang dulu disebutnya rumah. Tidak ada yang bersisa selain beberapa batang kayu penunjang pondoknya. Di situ dia menangis terharu. Sudah 20 tahun lebih sejak ia pindah ke Flores dari tanah asalnya, Timor-Timor. Walaupun dirinya berdarah Tionghoa, masyarakat Flores menyambutnya dengan baik karena kulitnya yang sama hitamnya. Di sini, dia bertemu calon istrinya, membangun rumah, dan membesarkan keluarganya. Ndete, adalah kampung halamannya sekarang.

Lama dirinya terduduk di sebelah bangkai rumahnya, memikirkan apa yang harus dilakukan apabila bencana seperti ini terjadi lagi. Tapi apa yang bisa dilakukan? Dia hanyalah seorang nelayan biasa yang putus sekolah saat SMP. Namun tekadnya untuk menyelamatkan dusunnya tidak bisa dipatahkan. Aku akan menemukan caranya, pikirnya.
  
Baba Akong berjalan menyusuri pesisir pantai. Dia berhenti saat melihat bekas pohon-pohon bakau yang kini telah mati semua karena terendam air panas dan lumpur. Tiba-tiba muncul ide di benaknya. Dia tahu bahwa sebuah hutan bakau terbuat dari jalinan akar-akar yang erat dan sangat kuat. Apabila pantainya memiliki hutan bakau seperti itu, maka dusunnya pun akan terlindungi dari ombak besar.
  
Seminggu kemudian, saat warga Ndete sedang membangun kembali rumah di tanah yang lebih tinggi, Baba Akong berbagi idenya kepada Anselina. “Mama tua, mari kita tanam ini pohon bakau,”
  
Anselina terperangah. “Bapak Tua, dari nenek moyang kita, tidak biasa tanam, kenapa kau datang perintah saya tanam? Jangan-jangan Bapak Tua sudah jadi gila?” jawabnya.
  
Baba Akong terdiam sesaat.
“Ya sudah, Mama tua. Kalau kamu tidak mau, Aku bisa sendiri,” kata Baba tegas.

Meminjam modal dari seorang teman, Baba Akong membeli sebilah parangdan sekop. Dia mengambil beberapa anakan pohon dari hutan bakau yangtersisa di teluk Winga Woka, dan menggarap lahan untuk menanamnya dipesisir Ndete. Semua dikerjakannya sendiri tanpa mengeluh atau memintabantuan. Anselina, tergugah melihat tekad suaminya, akhirnya ikutmembantu pada hari ketiga.

Sejak itu, setiap harinya sebelum matahari terbit, pasangan suami istri itu masuk ke dalam hutan bakau yang penuh lumpur setinggi pinggang, mengumpulkan anakan bakau. Dan sorenya setelah air laut surut, mereka menanam anakan itu kembali. Ketika malam tiba, Baba Akong melaut untuk mencari nafkah.
  
Walaupun diterpa ejekan dari para tetangga yang memilih menanam kelapa atau jambu, Baba Akong dan Anselina tidak lantas menyerah. “Sabar, Mama tua, kerja saja kita. Sabar itu nanti menjadi baik” hibur Baba Akong kepada istrinya.
  
Beberapa minggu kemudian, pucuk-pucuk pertama calon pohon bakau baru mulai tumbuh. Percaya diri Baba Akong meningkat. Pohon ini akan tumbuh dan melindungi kita semua! Hatinya sangat gembira. Sebagai seorang nelayan yang tidak pernah menanam bakau, dirinya telah berhasil membesarkan bibit-bibit ini. Dia pun semakin giat bekerja. Memikul karung besar berisi anakan bakau, menggali lubang sampai menyentuh air tanah, menanam bibitnya, dan dikubur kembali dengan lumpur, kemudian menggali lubang baru lagi. Setiap harinya, bisa 200 bibit pohon mereka tanam.  
  
Anselina sendiri, seperti merasa jatuh cinta yang kedua kalinya kepada Baba Akong. Ia hampir tidak percaya bagaimana sang suami bisa berubah total untuk memilih bekerja seperti ini. Berdua, mereka menyusuri hutan bakau tanpa alas kaki mencari anakan bakau. Tidak jarang kaki mereka tertusuk oleh tiram tajam, sehingga Baba Akong harus menggendong istrinya kembali ke rumah, kemudian kembali lagi untuk mengambil karung bibit yang tertinggal. “Saat-saat itu, untuk saya, sangat romantis,” kenang Anselina.

Tahun 1997, pohon-pohon bakau baru muda mulai terlihat menjulang di pesisir pantai Ndete. Namun tak lama kemudian, sebagian besar pohon-pohon itu mati. Setelah diteliti, ternyata penyebabnya adalah akar-akar mereka yang putus, karena kurang kuat tertanam.
  
Hal ini tidak menciutkan hati Baba Akong. Dia paham kini bahwa akar bakau harus terlindungi dari lumpur sampai sudah cukup kuat tertanam. Untuk itu, dia memerlukan polybag sebagai pelindung akar. Sayangnya harga polybag tidak murah, apalagi mengingat penghasilan mereka yang minim. Untuk makan malam saja, terkadang mereka sekeluarga harus puas dengan ubi kayu sebagai hidangan utama.
  
Akhirnya, demi melanjutkan perjuangan mereka, Anselina merelakan kalung lama pemberian suaminya dijual untuk membeli polybag. Baba Akong juga menjual babi peliharaannya. Setelah uang yang dibutuhkan terkumpul, suami istri itu kembali melakukan rutinitas mereka: menanam anakan bakau yang telah dikemas dalam polybag bersama tanah bergaram dan pasir halus. Baba Akong juga mempelajari berbagai jenis pohon bakau. Dia menemukan, bahwa tunas bakau akar nafas lebih kuat dan lebih cepat tumbuh besar.
Segera dia mengganti stok anakan bakaunya dengan anakan bakau akar nafas semua.
  
Empat hektar bidang tanah di Pantai Ndete kini telah ditanami bibit-bibit bakau. Tetapi Baba Akong tidak puas sampai di situ saja. Menurutnya, seluruh pantai Flores juga harus mempunyai hutan bakau sendiri. Dia meneruskan misi menanam bakaunya di bagian dari teluk Winga Woka yang masih belum ditumbuhi pohon bakau.
  
Tahun 2000, hasil dari usaha mereka semakin nyata. Hutan bakau mereka kini telah tumbuh besar, dengan akar-akar tebal yang saling membelit rapat, sehingga lumpur laut pun terendap. Hati Baba Akong dan Anselina gembira sekali. Hutan hasil kerja keras mereka terbukti dapat membantu menahan air pasang. Dan ternyata, masih ada banyak kegunaan-kegunaan lain dari bakau yang baru mereka temukan.
  
Daun bakau bisa digunakan untuk menyembuhkan luka, terbukti dari kaki Anselina yang membaik setelah dioleskan getah daun bakau saat tertusuk tiram. Dan plankton-plankton yang berkumpul di hutan bakau menarik ikan-ikan dari laut ke sana, sehingga warga sekitar dapat membuat kolam tambak di lokasi itu. Abrasi (pengikisan tanah) juga menjadi terkendali setelah pantai-pantai kini dipenuhi pohon bakau. Dan sarang burung-burung kutilang dan perkutut yang telah lama menghilang, bisa terlihat di sela-sela ranting kini.
  
Sayangnya, tidak sedikit orang-orang yang ingin mengakomodir kayu-kayu bakau yang dianggap bernilai ekonomi. Penjarahan liar kayu bakau makin sering terjadi dari waktu ke waktu. Baba Akong tidak kehabisan akal. Dia mengorganisir warga setempat untuk bersama-sama melindungi hutan bakau mereka. “Toh, ini juga demi melindungi rumah kalian, bukan?” kata Baba Akong di depan masyarakat yang dia kumpulkan. Sejak seluruh warga bersatu menjaga hutan bakau, insiden penjarahan liar kayu bakau pun semakin berkurang.

Kian hari, semakin banyak warga yang meminta diajarkan menanam bakau. Termasuk tetangga-tetangga lamanya yang dulu menghinanya. Baba Akon g mengajarkan mereka semua. Dia juga membentuk Kelompok Pelestarian Sumber Daya Alam (KPSA) untuk meneruskan penanaman bakau di seluruh pulau Flores. Kini, kelompoknya telah berjumlah 41 grup dan beranggotakan 2.000 orang. Atas permintaan guru-guru SD Flores, Baba Akong juga mengajarkan putra-putri Flores tentang pentingnya menanam bakau.   
  
“Cucu-cucu saya ada tujuh orang. Mereka semua saya ajarkan menanam bakau,” jelas Baba Akong, kini 62. “Saya bilang ke mereka, 'Daripada besok lusa, kami sudah tua, Tuhan sudah panggil. Lebih baik kalian ini gantikan kami',” tambahnya.
  
Selama 16 tahun bekerja, 23 hektar tanah Flores telah ditumbuhi pohon bakau. Perjuangan Baba Akong dan Anselina juga telah didokumentasikan oleh Imanuel Tome Hayon, mahasiswa asal Flores, dan terpilih sebagai finalis Eagle Awards Documentary Competition 2008 yang diselenggarakan oleh Metro TV. Usaha Baba Akong yang dirintis tanpa bantuan orang lain ini, kini telah mendapat sorotan dari seluruh Indonesia.
  
Keseharian hidup pria tua ini masih sama. Dia tetap mewariskan ilmunya tentang menanam bakau, dan pada sore harinya beristirahat sembari melihat matahari terbenam di balik hutan bakaunya. “Dari awal, saya tidak pernah memikirkan untuk mencari uang atau memproyekkan usaha ini. Hanya keselamatan keluarga, pantai, dan penduduknya,” ujar Baba Akong, sambil merapikan kemejanya saat diwawancarai sebelum syuting acara Kick Andy di Metro TV.. “Kalau itu yang berhasil saya capai, maka saya sudah senang,” lanjutnya sambil tersenyum kecil.
(Anggara Lukita)


Sumber : http://www.readersdigest.co.id

Sabtu, 08 Juni 2013

4 Parameter Pencemaran Lingkungan



Beberapa parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya pencemaran lingkungan, serta mengetahui tingkat pencemaran itu. Parameter-parameter yang digunakan sebagai indikator penemaran lingkugnan antara lain sebagai berikut

a. Parameter kimia
Parameter kimia meliputi CO2, pH, alkalinitas, fosfor dan kadang logam berat.

b. Parameter biokimia
Parameter biokimia meliputi BOD ( biochemical Orxygen Deman), yaitu jumlah oksigen yang terkandung atau terlalur di air. Cara pengukuran BOD adalah dengan menyimpan sampel air yang telah diketahui kandungan oksigennya selama 5 hari dan kemudian diukur kembali kandungan oksigennya, BOD digunakan untuk mengukur banyaknya pencemaran organik.
Di air yang normal dan alami, kadar pH adalah 6,5 – 8,5. Keasaman air dapat diukur dengan kertas lakmus. Contoh lain adalah kandungan oksigen di dalam air minum tidak boleh kurang dari 3 ppm

c. Parameter fisik
Parameter fisik meliputi temperatur, warna, rasa, bau, kejernihan dan kandungan bahan radiokatif.

d. Parameter biologi
Parameter biologi meliputi ada atau tidaknya bahan organik / mikroorganisme seperti bakteri coli, virus, dan plakton. Organisme yang peka akan mati di lingkungan air yang teremar.
Cotnoh: keadaan siput air dan planaria di sungai atau perairan menunjukkan bahwa air di sungai tersebut belum tercemar.