Setelah selamat dari sapuan gelombang tsunami, Baba
Akong kembali bangkit dan membangun ‘benteng’ bakau di pinggir pantai.
12 Desember 1992. Ada
yang tidak beres, pikir Viktor Emanuel Rayon, saat itu berusia 45. Dia baru
saja terbangun dari tidur siangnya tepat pukul dua, dan merasakan firasat yang
aneh, seperti sesuatu yang buruk akan terjadi. Dia melangkah keluar dari pondok
kecilnya di Teluk Ndete, Flores, Nusa Tenggara Timur, dan melemparkan
pandangannya ke langit yang menguning. Tidak ada angin bertiup. Hal ini sangat
janggal karena pondok Baba Akong, panggilan akrab Viktor, dan keluarganya hanya
berjarak 10 meter dari pesisir pantai.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang besar, dan Baba Akong merasakan tanah
yang diinjaknya berguncang keras. Dia membungkuk untuk menyeimbangkan diri,
mencoba mencari pegangan agar tidak terjatuh. Belum pernah dia merasakan
guncangan sehebat ini, bahkan di tengah laut saat badai sekali pun. Gempa itu
berhenti setelah beberapa detik, dan suasana pun sunyi kembali.
Dia melihat ke arah laut lepas dan merasa seluruh tubuhnya tertarik menjauhi
tepi pantai. Barulah dia tersadar bahwa air laut ternyata surut dengan
cepatnya. Seketika Baba Akong memahami semuanya. Seluruh tubuhnya bergetar membayangkan
apa yang akan terjadi. Segera dia berdiri dan berlari kembali ke pondoknya.
Istrinya, Anselina Nona, 43, telah berada di pintu bersama keenam anak mereka.
Wajah mereka tampak ketakutan.
“Lari! Lari sekarang!” teriaknya kepada mereka.
Baba Akong menggendong anak terkecilnya dan menyuruh yang lain segera melarikan
diri ke gunung, yang berjarak beberapa ratus meter dari lokasi mereka. Para tetangga mendatanginya, sama-sama terguncang setelah
gempa, bertanya apa yang terjadi. “Ombak besar akan datang! Cepat, naik ke
gunung sekarang!” jelasnya cepat-cepat.
Mereka langsung mengerti, dan bergegas kembali ke rumah masing-masing untuk
mengungsi. Baba Akong sekeluarga berlari sekuat tenaga ke kaki gunung. Anselina
memperhatikan bahwa keluarga yang lain berlari membawa harta benda mereka.
Selintas dia terpikir untuk kembali, mungkin bisa menyelamatkan beberapa potong
baju dan simpanan uang pikirnya. Melihat istrinya yang tampak
ragu, Baba Akong berteriak, “Mama Tua, kalau kau kembali ke sana, kau pasti tidak akan selamat. Relakan
saja.” Akhirnya, Anselina menurut dan kembali menggiring anak-anaknya memanjat
gunung.
Mereka baru memanjat sejauh 20 meter, ketika ombak itu akhirnya datang. Ombak
yang setinggi pohon kelapa, dan menyapu bersih kedua puluh rumah di dusun
Ndete. Baba sekeluarga berpegangan di sebuah pohon besar sambil
berlindung dari bongkahan-bongkahan batu besar yang jatuh dari atas gunung.
Sekilas Baba melirik ke arah desanya, yang kini telah terendam air.
Dia mengumpat atas gempa sial ini, tapi bersyukur karena terjadi pada waktu
siang. Apabila malam, mereka semua pasti sedang tertidur pulas di rumah, dan
tidak akan sempat melarikan diri., Hari itu bencana tsunami telah menyapu Pulau
Flores.
Malam itu, setelah keluarganya telah aman berada di sebuah sekolah dasar yang
menjadi kamp pengungsi darurat, Baba Akong kembali ke sepetak tanah yang dulu
disebutnya rumah. Tidak ada yang bersisa selain beberapa batang kayu penunjang
pondoknya. Di situ dia menangis terharu. Sudah 20 tahun lebih sejak ia pindah
ke Flores dari tanah asalnya, Timor-Timor.
Walaupun dirinya berdarah Tionghoa, masyarakat Flores
menyambutnya dengan baik karena kulitnya yang sama hitamnya. Di sini, dia
bertemu calon istrinya, membangun rumah, dan membesarkan keluarganya. Ndete,
adalah kampung halamannya sekarang.
Lama dirinya terduduk di sebelah bangkai rumahnya, memikirkan apa yang harus
dilakukan apabila bencana seperti ini terjadi lagi. Tapi apa yang bisa
dilakukan? Dia hanyalah seorang nelayan biasa yang putus sekolah saat SMP.
Namun tekadnya untuk menyelamatkan dusunnya tidak bisa dipatahkan. Aku akan
menemukan caranya, pikirnya.
Baba Akong berjalan menyusuri pesisir pantai. Dia berhenti saat melihat bekas
pohon-pohon bakau yang kini telah mati semua karena terendam air panas dan
lumpur. Tiba-tiba muncul ide di benaknya. Dia tahu bahwa sebuah hutan bakau
terbuat dari jalinan akar-akar yang erat dan sangat kuat. Apabila pantainya
memiliki hutan bakau seperti itu, maka dusunnya pun akan terlindungi dari ombak
besar.
Seminggu kemudian, saat warga Ndete sedang membangun kembali rumah di tanah
yang lebih tinggi, Baba Akong berbagi idenya kepada Anselina. “Mama tua, mari kita tanam ini pohon bakau,”
Anselina terperangah. “Bapak Tua, dari nenek moyang kita, tidak biasa tanam,
kenapa kau datang perintah saya tanam? Jangan-jangan Bapak Tua sudah jadi
gila?” jawabnya.
Baba Akong terdiam sesaat. “Ya
sudah, Mama tua. Kalau kamu tidak mau, Aku bisa sendiri,” kata Baba tegas.
Meminjam modal dari seorang teman, Baba Akong membeli sebilah parangdan sekop.
Dia mengambil beberapa anakan pohon dari hutan bakau yangtersisa di teluk Winga
Woka, dan menggarap lahan untuk menanamnya dipesisir Ndete. Semua dikerjakannya
sendiri tanpa mengeluh atau memintabantuan. Anselina, tergugah melihat tekad
suaminya, akhirnya ikutmembantu pada hari ketiga.
Sejak itu, setiap harinya sebelum matahari terbit, pasangan suami istri itu
masuk ke dalam hutan bakau yang penuh lumpur setinggi pinggang, mengumpulkan
anakan bakau. Dan sorenya setelah air laut surut, mereka menanam anakan itu
kembali. Ketika malam tiba, Baba Akong melaut untuk mencari nafkah.
Walaupun diterpa ejekan dari para tetangga yang memilih menanam kelapa atau
jambu, Baba Akong dan Anselina tidak lantas menyerah. “Sabar, Mama tua, kerja
saja kita. Sabar itu nanti menjadi baik” hibur Baba Akong kepada istrinya.
Beberapa minggu kemudian, pucuk-pucuk pertama calon pohon bakau baru mulai
tumbuh. Percaya diri Baba Akong meningkat. Pohon ini akan tumbuh dan melindungi
kita semua! Hatinya sangat gembira. Sebagai seorang nelayan yang tidak pernah
menanam bakau, dirinya telah berhasil membesarkan bibit-bibit ini. Dia pun
semakin giat bekerja. Memikul karung besar berisi anakan bakau, menggali lubang
sampai menyentuh air tanah, menanam bibitnya, dan dikubur kembali dengan
lumpur, kemudian menggali lubang baru lagi. Setiap harinya, bisa 200 bibit
pohon mereka tanam.
Anselina sendiri, seperti merasa jatuh cinta yang kedua kalinya kepada Baba
Akong. Ia hampir tidak percaya bagaimana sang suami bisa berubah total untuk
memilih bekerja seperti ini. Berdua, mereka menyusuri hutan bakau tanpa alas
kaki mencari anakan bakau. Tidak jarang kaki mereka tertusuk oleh tiram tajam,
sehingga Baba Akong harus menggendong istrinya kembali ke rumah, kemudian
kembali lagi untuk mengambil karung bibit yang tertinggal. “Saat-saat itu,
untuk saya, sangat romantis,” kenang Anselina.
Tahun 1997, pohon-pohon bakau baru muda mulai terlihat menjulang di pesisir
pantai Ndete. Namun tak lama
kemudian, sebagian besar pohon-pohon itu mati. Setelah diteliti, ternyata
penyebabnya adalah akar-akar mereka yang putus, karena kurang kuat tertanam.
Hal ini tidak menciutkan hati Baba Akong. Dia paham kini bahwa akar bakau harus
terlindungi dari lumpur sampai sudah cukup kuat tertanam. Untuk itu, dia
memerlukan polybag sebagai pelindung akar. Sayangnya harga polybag tidak murah,
apalagi mengingat penghasilan mereka yang minim. Untuk makan malam saja,
terkadang mereka sekeluarga harus puas dengan ubi kayu sebagai hidangan utama.
Akhirnya, demi melanjutkan perjuangan mereka, Anselina merelakan kalung lama
pemberian suaminya dijual untuk membeli polybag. Baba Akong juga menjual babi
peliharaannya. Setelah uang yang dibutuhkan terkumpul, suami
istri itu kembali melakukan rutinitas mereka: menanam anakan bakau yang telah
dikemas dalam polybag bersama tanah bergaram dan pasir halus. Baba Akong juga
mempelajari berbagai jenis pohon bakau. Dia menemukan, bahwa tunas bakau akar
nafas lebih kuat dan lebih cepat tumbuh besar. Segera dia mengganti stok anakan bakaunya dengan
anakan bakau akar nafas semua.
Empat hektar bidang tanah di Pantai Ndete kini telah ditanami bibit-bibit
bakau. Tetapi Baba Akong tidak puas sampai di situ saja. Menurutnya, seluruh
pantai Flores juga harus mempunyai hutan bakau sendiri. Dia meneruskan misi
menanam bakaunya di bagian dari teluk Winga Woka yang masih belum ditumbuhi
pohon bakau.
Tahun 2000, hasil dari usaha mereka semakin nyata. Hutan bakau mereka kini
telah tumbuh besar, dengan akar-akar tebal yang saling membelit rapat, sehingga
lumpur laut pun terendap. Hati Baba Akong dan Anselina gembira sekali. Hutan
hasil kerja keras mereka terbukti dapat membantu menahan air pasang. Dan
ternyata, masih ada banyak kegunaan-kegunaan lain dari bakau yang baru mereka
temukan.
Daun bakau bisa digunakan untuk menyembuhkan luka, terbukti dari kaki Anselina
yang membaik setelah dioleskan getah daun bakau saat tertusuk tiram. Dan
plankton-plankton yang berkumpul di hutan bakau menarik ikan-ikan dari laut ke
sana, sehingga warga sekitar dapat membuat kolam tambak di lokasi itu. Abrasi
(pengikisan tanah) juga menjadi terkendali setelah pantai-pantai kini dipenuhi
pohon bakau. Dan sarang burung-burung kutilang dan perkutut yang telah lama
menghilang, bisa terlihat di sela-sela ranting kini.
Sayangnya, tidak sedikit orang-orang yang ingin mengakomodir kayu-kayu bakau
yang dianggap bernilai ekonomi. Penjarahan liar kayu bakau makin sering terjadi
dari waktu ke waktu. Baba Akong tidak kehabisan akal. Dia mengorganisir warga
setempat untuk bersama-sama melindungi hutan bakau mereka. “Toh, ini juga demi
melindungi rumah kalian, bukan?” kata Baba Akong di depan masyarakat yang dia
kumpulkan. Sejak seluruh warga bersatu menjaga hutan bakau, insiden penjarahan
liar kayu bakau pun semakin berkurang.
Kian hari, semakin banyak warga yang meminta diajarkan menanam bakau. Termasuk
tetangga-tetangga lamanya yang dulu menghinanya. Baba Akon g mengajarkan mereka
semua. Dia juga membentuk Kelompok Pelestarian Sumber Daya Alam (KPSA) untuk
meneruskan penanaman bakau di seluruh pulau Flores. Kini, kelompoknya telah
berjumlah 41 grup dan beranggotakan 2.000 orang. Atas permintaan guru-guru SD
Flores, Baba Akong juga mengajarkan putra-putri Flores tentang pentingnya
menanam bakau.
“Cucu-cucu saya ada tujuh orang. Mereka semua saya ajarkan menanam bakau,”
jelas Baba Akong, kini 62. “Saya bilang ke mereka, 'Daripada besok lusa, kami
sudah tua, Tuhan sudah panggil. Lebih baik kalian ini gantikan kami',”
tambahnya.
Selama 16 tahun bekerja, 23 hektar tanah Flores telah ditumbuhi pohon bakau.
Perjuangan Baba Akong dan Anselina juga telah didokumentasikan oleh Imanuel
Tome Hayon, mahasiswa asal Flores, dan terpilih sebagai finalis Eagle Awards
Documentary Competition 2008 yang diselenggarakan oleh Metro TV. Usaha Baba
Akong yang dirintis tanpa bantuan orang lain ini, kini telah mendapat sorotan
dari seluruh Indonesia.
Keseharian hidup pria tua ini masih sama. Dia tetap mewariskan ilmunya tentang
menanam bakau, dan pada sore harinya beristirahat sembari melihat matahari
terbenam di balik hutan bakaunya. “Dari awal, saya tidak pernah memikirkan
untuk mencari uang atau memproyekkan usaha ini. Hanya
keselamatan keluarga, pantai, dan penduduknya,” ujar Baba Akong, sambil
merapikan kemejanya saat diwawancarai sebelum syuting acara Kick Andy di Metro
TV.. “Kalau itu yang berhasil saya capai, maka saya sudah senang,” lanjutnya
sambil tersenyum kecil. (Anggara Lukita)
Sumber : http://www.readersdigest.co.id