Tanaman
merupakan penyerap karbondioksida (CO2) di udara. Bahkan beberapa
diantara tanaman-tanaman itu sangat jago, mempunyai kemampuan besar, untuk
menyerap karbondioksida (CO2). Pohon trembesi (Samanea saman), dan
Cassia (Cassia sp) merupakan salah satu contoh tumbuhan yang kemampuan
menyerap CO2-nya sangat besar hingga mencapai ribuan kg/tahun.
Sebagaimana
diketahui, tumbuhan melakukan fotosistesis untuk membentuk zat makanan atau
energi yang dibutuhkan tanaman tersebut. Dalam fotosintesis tersebut tumbuhan
menyerap karbondioksida (CO2) dan air yang kemudian di rubah menjadi glukosa
dan oksigen dengan bantuan sinar matahari. Kesemua proses ini berlangsung di
klorofil. Kemampuan tanaman sebagai penyerap karbondioksida akan berbeda-beda.
Banyak faktor yang
mempengaruhi daya serap karbondioksida. Diantaranya ditentukan oleh mutu klorofil. Mutu klorofil ditentukan
berdasarkan banyak sedikitnya magnesium yang menjadi inti klorofil. Semakin
besar tingkat magnesium, daun akan berwarna hijau gelap.
Daya serap karbondioksida sebuah pohon juga
ditentukan oleh luas keseluruhan daun, umur daun, dan fase pertumbuhan tanaman.
Selain itu, Pohon-pohon yang berbunga dan berbuah memiliki kemampuan
fotosintesis yang lebih tinggi sehingga mampu sebagai penyerap karbondioksida
yang lebih baik. Faktor lainnya yang ikut menentukan daya serap karbondioksida
adalah suhu, dan sinar matahari, ketersediaan air.
Trembesi Juara Pohon Penyerap
Korbondioksida.
Adalah Endes N. Dahlan, seorang dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor yang melakukan penelitian daya serap karbondioksida pada berbagai jenis
pohon. Penelitian yang dilakukan pada 2007-2008 memberikan hasil bahwa trembesi (Samanea saman) terbukti
menyerap paling banyak karbondioksida. Dalam setahun, trembesi mampu
menyerap 28.488,39 kg karbondioksida.
Selain pohon trembesi,
didapat juga berbagai jenis tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi sebagai tanaman penyerap karbondioksida (CO2).
Pohon-pohon itu diantaranya adalah cassia, kenanga, pingku, beringin, krey
payung, matoa, mahoni, dan berbagai jenis tanaman lainnya.
Daftar Pohon
Penyerap Karbondioksida. Berikut merupakan daftar tanaman yang
mempunyai daya serap karbondioksida yang tinggi berdasarkan hasil riset Endes
N. Dahlan. (No, nama pohon, nama latin, daya serap).
- Trembesi, Samanea saman, 28.488,39 kg/tahun
- Cassia, Cassia sp, 5.295,47 kg/tahun
- Kenanga, Canangium odoratum, 756,59 kg/tahun
- Pingku, Dyxoxylum excelsum, 720,49 kg/tahun
- Beringin, Ficus benyamina, 535,90 kg/tahun
- Krey payung, Fellicium decipiens, 404,83 kg/tahun
- Matoa, Pometia pinnata, 329,76 kg/tahun
- Mahoni, Swettiana mahagoni, 295,73 kg/tahun
- Saga, Adenanthera pavoniana, 221,18 kg/tahun
- Bungur, Lagerstroemia speciosa, 160,14 kg/tahun
- Jati, Tectona grandis, 135,27 kg/tahun
- Nangka, Arthocarpus heterophyllus, 126,51 kg/tahun
- Johar, Cassia grandis, 116,25 kg/tahun
- Sirsak, Annona muricata, 75,29 kg/tahun
- Puspa, Schima wallichii, 63,31 kg/tahun
- Akasia, Acacia auriculiformis, 48,68 kg/tahun
- Flamboyan, Delonix regia, 42,20 kg/tahun
- Sawo kecik, Maniilkara kauki, 36,19 kg/tahun
- Tanjung, Mimusops elengi, 34,29 kg/tahun
- Bunga merak, Caesalpinia pulcherrima, 30,95 kg/tahun
- Sempur, Dilenia retusa, 24,24 kg/tahun
- Khaya, Khaya anthotheca, 21,90 kg/tahun
- Merbau pantai, Intsia bijuga, 19,25 kg/tahun
- Akasia, Acacia mangium, 15,19 kg/tahun
- Angsana, Pterocarpus indicus, 11,12 kg/tahun
- Asam kranji, Pithecelobium dulce, 8,48 kg/tahun
- Saputangan, Maniltoa grandiflora, 8,26 kg/tahun
- Dadap merah, Erythrina cristagalli, 4,55 kg/tahun
- Rambutan, Nephelium lappaceum, 2,19 kg/tahun
- Asam, Tamarindus indica, 1,49 kg/tahun
- Kempas, Coompasia excelsa, 0,20 kg/tahun
Tumbuhan-tumbuhan
tersebut adalah jagoan penyerap karbondioksida berdasarkan riset yang dilakukan
oleh Endes N. Dahlan yang dipublish awal 2008. Tidak menutup
kemungkinan masih terdapat pohon-pohon lain yang mempunyai kemampuan daya serap
karbondioksida yang lebih tinggi.
Namun, upaya yang
dilakukan Endes N. Dahlan ini patut kita acungi jempol yang membuat kita dapat
lebih tepat memilih tanaman yang mempunyai kemampuan ekstra sebagai penyerap
karbondioksida dalam upaya mengurangi polusi udara
dan mengurangi
dampak pemanasan global.
Ukuran daun trembesi Samanea saman memang mungil, tak lebih
dari koin Rp100. Namun, ia paling unggul dalam menyerap karbondioksida. Dalam
setahun sebuah pohon trembesi mampu menyerap 28.488,39 kg karbondioksida. Pohon
berkanopi mirip payung itu layak menyemarakkan program pemerintah: Gerakan
Menanam dan Merawat Sepuluh Juta Pohon.
Soal kehebatan trembesi menyerap polutan itu dibuktikan Dr Ir Endes N Dahlan. Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor itu meriset 43 pohon yang acap dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan. Ia tertarik untuk meriset lantaran kian meningkatkan konsentrasi karbondioksida di atmosfer, 350 ppm. 'Jika laju penambahan penggunaan bahan bakar minyak dan gas tak berubah, 60 tahun mendatang konsentrasi karbondioksida meningkat menjadi 550 ppm,' katanya.
Padahal, setiap peningkatan 100 ppm karbondioksida menyebabkan melonjaknya suhu 1oC. Harap mafhum, gas yang memiliki berat jenis 1,5 kali lebih besar daripada udara itu menyerap gelombang panjang.
Karbondioksida juga bersifat asfiksian alias menyebabkan tubuh kekurangan oksigen, seolah-olah oksigen di udara sangat rendah. Padahal, konsentrasi gas oksigen di udara tetap: 20,95%. Dalam jangka panjang, karbondioksida yang dihirup manusia mengakibatkan rendahnya kadar oksihemoglobin.
Dalam keadaan ideal, karbondioksida diserap oleh vegetasi di ruang terbuka hijau. Sayangnya, di berbagai daerah ruang terbuka hijau kian menyusut. Menyempitnya ruang terbuka hijau diiringi dengan melonjaknya emisi karbondioksida. Di Bogor, misalnya, emisi gas itu cenderung membubung. Pada 2000 emisi karbondioksida di daerah yang dulu sohor sebagai Kota Hujan itu hanya 4,35, lalu meningkat menjadi 4,60 pada 2001, bahkan 15,36 pada 2007.
Trembesi top
Membudidayakan pohon tertentu di daerah berpolutan, salah satu solusi. Pohon apa yang paling pas? Untuk menjawab pertanyaan itu, Endes N Dahlan selama 2 tahun sejak Maret 2005 meriset kemampuan beragam pohon menyerap karbondioksida. Doktor Ilmu Kehutanan alumnus Institut Pertanian Bogor itu mengambil sampel daun 2 kali. Pertama, sejam menjelang proses fotosintesis atau pukul 05.00 dan ketika proses fotosintesis itu berlangsung pada pukul 10.00. Saat sama, juga terjadi kepadatan lalulintas tertinggi.
Daun diambil dari 2 lokasi berbeda, Kebun Raya Bogor dan Hutan CIFOR (Center International Forestry Research), keduanya di Kotamadya Bogor yang kini mempunyai 3.506 angkutan kota. Pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 26 Desember 1950, itu mengambil 30 gram daun-berbagai umur-dari pohon berdiameter 30-40 cm atau mempunyai ketinggian tajuk yang sama.
Ayah 4 anak itu lantas menuangkan 2 liter alkohol 70% dalam kantong plastik. Daun-daun itu direndam di dalamnya selama 15 menit. Perendaman bertujuan untuk menghentikan laju metabolisme daun. Suami Iyah R Yusliani itu lalu menjemur dan mengoven daun-daun pada suhu 70oC selama 2 hari. Daun keringkerontang itulah yang ia giling sampai halus. Endes kemudian mengayak sampel hingga memperoleh bobot 20 g dan menambahkan 20 ml asam klorida.
Mantan asisten peneliti Seameo Biotrop itu menghidrolisis larutan itu selama 2,5 jam. Larutan yang berubah warna dari kebiruan menjadi merah muda itu diberi 5 ml sengsulfat 5% dan 5 ml barium hidroksida 0,3 N. Larutan itu melarutkan protein. Dengan spektrometer, ia mengukur kadar karbohidrat pada setiap daun.
Dari data itulah pria 57 tahun itu mengkonversi kadar karbohidrat ke serapan karbondioksida. Dalam proses fotosintesis, gas itu diubah menjadi glukosa oleh tanaman (baca: Cara Pohon Serap Karbondioksida halaman 158). Hasilnya, trembesi alias munggur terbukti paling banyak menyerap karbondioksida. Dalam setahun, tanaman yang didatangkan Belanda dari Semenanjung Yucatan, Meksiko, 16.400 km di seberang Jakarta itu menyerap 28.488,39 kg karbondioksida (lihat tabel).
Pilih-pilih
Tanaman anggota famili Fabaceae itu layak ditanam di daerah berpolutan tinggi. Namun, harus dipertimbangkan area penanaman jauh dari gedung atau bangunan. Soalnya, akar pohon yang juga disebut raintree alias kihujan itu mampu menjebol bangunan. Saat ini ketika pemerintah mencanangkan Gerakan Menanam dan Merawat Sepuluh Juta Pohon, idealnya ada seleksi untuk memilih pohon yang tepat.
'Dengan pohon yang tepat, mungkin bukan sepuluh juta pohon yang kita tanam, tapi cukup 500.000 pohon,' ujar Endes. Ia mencontohkan di daerah berpolutan debu besi seperti Kotamadya Cilegon, Provinsi Banten -di sana terdapat pabrik baja PT Krakatau Steel-misalnya, pohon waru Hibiscus sp pilihan paling tepat. Anggota famili Malvaceae itu mampu menyerap 3 kg debu besi setahun. Jika bobot 1 kg besi sekepalan tangan, kerabat bunga sepatu itu menyerap 3 kepalan besi.
Sebaliknya, di wilayah yang kerap tergenang dan kita ingin air cepat surut, sengon- lah paling pas. Evaporasi Albizzia falcata itu sangat tinggi. 'Jadi kita harus tahu tujuan menanam pohon,' katanya. Namun, sayangnya itu tak diterapkan ketika gerakan penghijauan digulirkan.
Gerakan penghijauan semacam itu memang bukan baru sekarang dicanangkan. Provinsi Jakarta, umpamanya, sejak Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) membuat kebijakan menghijaukan kota seluas 650 km2. Kemudian kebijakan Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987-1992) mengembalikan fungsi jalur hijau yang digerogoti perumahan dan perkampungan kumuh. Wiyogo mengatakan untuk mewujudkan lingkungan ideal, Jakarta harus punya ruang terbuka hijau 30% (23.750 ha).
Pada 1992 pemerintah juga meneken Keputusan Presiden No. 20/1992 untuk mengkampanyekan penghijauan. Kini, 15 tahun kemudian pemerintah mencanangkan program serupa. 'Sudah seharusnya seluruh bangsa ke depan menyadari akan pentingnya kegiatan penanaman pohon atau tanaman lainnya sebagai sumber penunjang kehidupan,' kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan hari Bumi 22 April 2006.
Pengamat lingkungan Lukas Adhyakso MSc PhD mengatakan program itu berdampak positif. 'Menambah jumlah pohon berarti meningkatkan fungsi ekologi, misalnya kemampuan pohon menyerap air tanah dan mengurangi polutan,' kata doktor Ilmu Hayat lulusan perguruan tinggi di Skotlandia itu.
Selain itu dampak sosial penghijauan juga sangat besar. Masyarakat perkotaan yang mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki, misalnya, merasa lebih nyaman jika jalanan teduh oleh pohon. Tentu saja agar efektif, tidak sekadar menanam pohon. 'Di Jakarta yang penduduk dan lalulintasnya padat, angsana tidak cocok sebagai penghijauan karena mudah tumbang,' kata master Teknik Lingkungan itu. Singkat kata, tanamlah pohon sesuai peruntukannya.
Soal kehebatan trembesi menyerap polutan itu dibuktikan Dr Ir Endes N Dahlan. Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor itu meriset 43 pohon yang acap dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan. Ia tertarik untuk meriset lantaran kian meningkatkan konsentrasi karbondioksida di atmosfer, 350 ppm. 'Jika laju penambahan penggunaan bahan bakar minyak dan gas tak berubah, 60 tahun mendatang konsentrasi karbondioksida meningkat menjadi 550 ppm,' katanya.
Padahal, setiap peningkatan 100 ppm karbondioksida menyebabkan melonjaknya suhu 1oC. Harap mafhum, gas yang memiliki berat jenis 1,5 kali lebih besar daripada udara itu menyerap gelombang panjang.
Karbondioksida juga bersifat asfiksian alias menyebabkan tubuh kekurangan oksigen, seolah-olah oksigen di udara sangat rendah. Padahal, konsentrasi gas oksigen di udara tetap: 20,95%. Dalam jangka panjang, karbondioksida yang dihirup manusia mengakibatkan rendahnya kadar oksihemoglobin.
Dalam keadaan ideal, karbondioksida diserap oleh vegetasi di ruang terbuka hijau. Sayangnya, di berbagai daerah ruang terbuka hijau kian menyusut. Menyempitnya ruang terbuka hijau diiringi dengan melonjaknya emisi karbondioksida. Di Bogor, misalnya, emisi gas itu cenderung membubung. Pada 2000 emisi karbondioksida di daerah yang dulu sohor sebagai Kota Hujan itu hanya 4,35, lalu meningkat menjadi 4,60 pada 2001, bahkan 15,36 pada 2007.
Trembesi top
Membudidayakan pohon tertentu di daerah berpolutan, salah satu solusi. Pohon apa yang paling pas? Untuk menjawab pertanyaan itu, Endes N Dahlan selama 2 tahun sejak Maret 2005 meriset kemampuan beragam pohon menyerap karbondioksida. Doktor Ilmu Kehutanan alumnus Institut Pertanian Bogor itu mengambil sampel daun 2 kali. Pertama, sejam menjelang proses fotosintesis atau pukul 05.00 dan ketika proses fotosintesis itu berlangsung pada pukul 10.00. Saat sama, juga terjadi kepadatan lalulintas tertinggi.
Daun diambil dari 2 lokasi berbeda, Kebun Raya Bogor dan Hutan CIFOR (Center International Forestry Research), keduanya di Kotamadya Bogor yang kini mempunyai 3.506 angkutan kota. Pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 26 Desember 1950, itu mengambil 30 gram daun-berbagai umur-dari pohon berdiameter 30-40 cm atau mempunyai ketinggian tajuk yang sama.
Ayah 4 anak itu lantas menuangkan 2 liter alkohol 70% dalam kantong plastik. Daun-daun itu direndam di dalamnya selama 15 menit. Perendaman bertujuan untuk menghentikan laju metabolisme daun. Suami Iyah R Yusliani itu lalu menjemur dan mengoven daun-daun pada suhu 70oC selama 2 hari. Daun keringkerontang itulah yang ia giling sampai halus. Endes kemudian mengayak sampel hingga memperoleh bobot 20 g dan menambahkan 20 ml asam klorida.
Mantan asisten peneliti Seameo Biotrop itu menghidrolisis larutan itu selama 2,5 jam. Larutan yang berubah warna dari kebiruan menjadi merah muda itu diberi 5 ml sengsulfat 5% dan 5 ml barium hidroksida 0,3 N. Larutan itu melarutkan protein. Dengan spektrometer, ia mengukur kadar karbohidrat pada setiap daun.
Dari data itulah pria 57 tahun itu mengkonversi kadar karbohidrat ke serapan karbondioksida. Dalam proses fotosintesis, gas itu diubah menjadi glukosa oleh tanaman (baca: Cara Pohon Serap Karbondioksida halaman 158). Hasilnya, trembesi alias munggur terbukti paling banyak menyerap karbondioksida. Dalam setahun, tanaman yang didatangkan Belanda dari Semenanjung Yucatan, Meksiko, 16.400 km di seberang Jakarta itu menyerap 28.488,39 kg karbondioksida (lihat tabel).
Pilih-pilih
Tanaman anggota famili Fabaceae itu layak ditanam di daerah berpolutan tinggi. Namun, harus dipertimbangkan area penanaman jauh dari gedung atau bangunan. Soalnya, akar pohon yang juga disebut raintree alias kihujan itu mampu menjebol bangunan. Saat ini ketika pemerintah mencanangkan Gerakan Menanam dan Merawat Sepuluh Juta Pohon, idealnya ada seleksi untuk memilih pohon yang tepat.
'Dengan pohon yang tepat, mungkin bukan sepuluh juta pohon yang kita tanam, tapi cukup 500.000 pohon,' ujar Endes. Ia mencontohkan di daerah berpolutan debu besi seperti Kotamadya Cilegon, Provinsi Banten -di sana terdapat pabrik baja PT Krakatau Steel-misalnya, pohon waru Hibiscus sp pilihan paling tepat. Anggota famili Malvaceae itu mampu menyerap 3 kg debu besi setahun. Jika bobot 1 kg besi sekepalan tangan, kerabat bunga sepatu itu menyerap 3 kepalan besi.
Sebaliknya, di wilayah yang kerap tergenang dan kita ingin air cepat surut, sengon- lah paling pas. Evaporasi Albizzia falcata itu sangat tinggi. 'Jadi kita harus tahu tujuan menanam pohon,' katanya. Namun, sayangnya itu tak diterapkan ketika gerakan penghijauan digulirkan.
Gerakan penghijauan semacam itu memang bukan baru sekarang dicanangkan. Provinsi Jakarta, umpamanya, sejak Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) membuat kebijakan menghijaukan kota seluas 650 km2. Kemudian kebijakan Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987-1992) mengembalikan fungsi jalur hijau yang digerogoti perumahan dan perkampungan kumuh. Wiyogo mengatakan untuk mewujudkan lingkungan ideal, Jakarta harus punya ruang terbuka hijau 30% (23.750 ha).
Pada 1992 pemerintah juga meneken Keputusan Presiden No. 20/1992 untuk mengkampanyekan penghijauan. Kini, 15 tahun kemudian pemerintah mencanangkan program serupa. 'Sudah seharusnya seluruh bangsa ke depan menyadari akan pentingnya kegiatan penanaman pohon atau tanaman lainnya sebagai sumber penunjang kehidupan,' kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan hari Bumi 22 April 2006.
Pengamat lingkungan Lukas Adhyakso MSc PhD mengatakan program itu berdampak positif. 'Menambah jumlah pohon berarti meningkatkan fungsi ekologi, misalnya kemampuan pohon menyerap air tanah dan mengurangi polutan,' kata doktor Ilmu Hayat lulusan perguruan tinggi di Skotlandia itu.
Selain itu dampak sosial penghijauan juga sangat besar. Masyarakat perkotaan yang mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki, misalnya, merasa lebih nyaman jika jalanan teduh oleh pohon. Tentu saja agar efektif, tidak sekadar menanam pohon. 'Di Jakarta yang penduduk dan lalulintasnya padat, angsana tidak cocok sebagai penghijauan karena mudah tumbang,' kata master Teknik Lingkungan itu. Singkat kata, tanamlah pohon sesuai peruntukannya.
Referensi:
- Sardi Duryatmo. “Para Jagoan Serap Karbondioksida”; Trubus 459, Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar