Jumat, 24 Mei 2013

Ruang Terbuka Hijau Antara Tuntutan dan Kebutuhan


Kolam seluas sekitar 12 m2 berada tepat di tengah taman botanic Puri Botanical Residence, Jakarta Barat. Suara gemericik air pancuran yang jatuh ke kolam memberi kesejukan bagi pengunjung yang tengah duduk di bangku kayu panjang yang terletak di pinggir kolam. Ditambah kehadiran ratusan tanaman langka, taman semakin nyaman sebagai tempat bersantai.
Pantas bila warga perumahan Puri Botanical Residence bersuka hati dengan kehadiran taman yang rencananya akan dibangun seluas 4,5 ha itu. Maklum, kehadiran ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta sebagai tempat rekreasi, berolahraga, bermain anak, dan bersantai untuk melepaskan kepenatan, jumlahnya masih terbatas. Saat ini kehadirannya mayoritas berlokasi di pemukiman kelas menengah ke atas.
Secara prinsip, kebutuhan RTH tidak mengenal tingkat kelas sosial ekonomi. Namun, dalam implementasinya seringkali penduduk yang berada di pemukiman padat di kota, kurang memperhatikan fungsi penting RTH. Padahal, ‘Hijau itu bukan biaya, tapi manfaatnya lebih banyak. Salah satunya berkurangnya tingkat stres,’ kata Sarwo Handayani, kepala Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta. Salah satu faktor kurangnya perhatian penduduk di pemukiman padat terhadap RTH adalah kebutuhan hunian yang murah dan berada dekat dengan tempat usaha. Oleh karenanya mereka bersedia tinggal berdesak-desakan dengan minim ruang terbuka.
Padahal, besarnya persentase tutupan hijau dengan ruang non-hijau menjadi salah satu parameter untuk menganalisis banjir. Semakin besar persentase RTH, kemungkinan risiko banjir relatif kecil. Air hujan yang jatuh akan berinfiltrasi atau masuk ke dalam tanah dan sebagian kecil menjadi limpasan atau aliran permukaan. Sebaliknya apabila persentase RTH kecil, peluang terjadinya limpasan akan semakin besar, akibatnya risiko banjir akan semakin besar pula.
Luas
Luasan ruang terbuka hijau sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Ada yang menyatakan 10%, 20%, 30% bahkan hingga 60%. Sebut saja perumahan Puri Botanical Residence dan Bumi Serpong Damai yang menyediakan 40% sebagai ruang terbuka hijau, sementara Bogor Nirwana Residence, 60%. Berbagai pendekatan dapat digunakan sesuai dengan karakteristik kota sehingga menyebabkan persentase luasan RTH sangat bervariasi.
Penentuan luas hutan kota sebagai RTH ada yang mengacu pada jumlah penduduk dan kebutuhan ruang gerak per individu. Di Malaysia luasan hutan kota ditetapkan seluas 1,9 m2/penduduk; Jepang, 5,0 m2/penduduk; Dewan kota Lancashire Inggris menetapkan 11,5 m2/penduduk; Amerika menentukan luasan hutan yang lebih fantastis, yaitu 60 m2/penduduk; sedangkan DKI Jakarta mengusulkan luasan taman untuk bermain dan berolahraga sebesar 1,5 m2/penduduk.
Berdasarkan Konferensi Bumi pada 1992 yang berlangsung di Rio de Jeneiro, Brasil, disepakati setiap negara wajib mengalokasikan luas ruang terbuka hijau sebesar 30% di setiap kota besarnya. Menurut Sarwo berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 1995 – 2010 RTH hanya ditargetkan sebesar 13,94% dari luas Jakarta, yang hingga saat ini baru terpenuhi 10%. Namun, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan dan dampak dari pemanasan global, pemerintah meningkatkan kebutuhan ruang terbuka hijau. Dalam Undang-Undang Tata Ruang No. 26/2007, ditetapkan ruang hijau di DKI Jakarta sebesar 30%.
Ruang hijau bisa berupa taman kota, jalur hijau, dan tempat pemakaman umum. Taman kota tersebar di setiap wilayah sebagai sarana bermain, olahraga, dan rekreasi. Sebut saja, ‘Taman Menteng, taman Monas (taman Medan Merdeka, red), taman Ragunan, taman Lapangan Banteng, taman Graha Cijantung, dan taman Puring,’ ujar Sarwo.
Dalam pemilihan jenis tanaman, Dinas Pertamanan DKI Jakarta menentukan beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Sebut saja, kuat atau tidak mudah tumbang, cocok dengan lingkungan tempat penanaman, mampu menyerap polutan, daunnya tidak mudah gugur sehingga tak kotor, sosoknya cantik, dan sebaiknya berbunga. ‘Karena Jakarta ibukota negara sehingga faktor keindahan diutamakan,’ kata Sarwo. Sementara untuk wilayah pemukiman dapat memilih pohon produktif seperti pohon buah di pekarangan rumah atau tanaman antinyamuk.
Paru-paru kota
Nun di Singapura, hanya mengandalkan dua jenis tanaman, pohon dan rumput yang ditanam menyatu membentuk RTH kota yang nyaris tak terputus. Hutan kota, taman kota, taman pemakaman umum, lapangan olahraga, jalur hijau jalan raya dan di bawah jalan layang, bantaran rel kereta api, bantaran sungai, hingga tepi pantai saling menyatu. Yang mendominasi pohon-pohon besar berumur puluhan hingga ratusan tahun – berdiameter lebih dari 50 cm – dan bukit rumput. Sebuah ciri khas kota taman bergaya Inggris karya Ebenezer Howard. Di tanahair taman seperti itu masih dapat disaksikan di Kebun Raya Bogor.
Sementara itu, di antara pepohonan dan padang rumput diselingi jenis palem dan tanaman perdu yang tidak terlalu membutuhkan sinar matahari. Tanaman berbunga indah warna-warni justru jarang ditemui, kecuali di sekitar kawasan Bandara Internasional Changi dengan dominasi bunga bugenvil, atau di kantong-kantong pojok persimpangan jalan raya.
Ketersediaan ruang teduh mendorong sebagian besar warga kota dan pendatang rela berjalan kaki menuju ke berbagai tempat tujuan dengan nyaman dan aman, dalam lingkungan kota yang benar-benar asri, sejuk, dan segar. Misalnya di kawasan Orchard Road. Teduhnya lindungan bayang-bayang pohon trembesi yang berbentuk seperti payung membuat pejalan kaki merasa aman meski suhu udara tidak beda jauh dengan Jakarta.
Itu semua dihadirkan karena Singapura paham betul pohon sebagai paru-paru kota. Ia produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Kemampuan pohon mensuplai oksigen tergambar dari hitung-hitungan berikut. Sebagai patokan, lahan seluas 1.600 m² yang terdapat 16 pohon masing-masing berdiameter tajuk 10 m mampu menyuplai oksigen (O²) sebesar 14.000 liter. Setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap 8 kg CO² yang setara dengan CO² yang diembuskan oleh napas 200 orang dalam waktu yang sama. Jika satu liter O² dihargai Rp100, maka sebatang pohon menghemat biaya oksigen sebesar Rp1.400.000 per hari atau Rp511- juta per tahun per orang.

Gambar Taman kota ( sumber : panduanwisata.com )
 

Kota hijau
‘Kota yang bagus adalah kota yang mengutamakan pejalan kaki,’ kata Baginda Simatupang dari Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia (IALI). Contohnya di Kualalumpur, Malaysia. Di sana trotoar bagi pejalan kaki dibuatkan atap sehingga ketika hujan terhindar dari basah kuyup.
Sementara di La Rambla, Barcelona, lebar areal pedestrian kira-kira 20 meter. Di kiri-kanan areal pedestrian terdapat jalur kendaraan yang hanya satu lajur.
Nun di Adelaide, Australia, bersepeda atau pun berjalan kaki tak perlu khawatir akan kenyamanan dan keamanan karena telah disediakan jalur dan parkir khusus. Jalurnya bersebelahan dengan jalur mobil dan ada rambu-rambu yang mewajibkan mobil mengalah kepada pesepeda dan pejalan kaki. Salah satu kriteria kota hijau atau green city adalah memprioritaskan pesepeda dan pejalan kaki. Tak heran bila ratusan penduduk di sana menggunakan sepeda sebagai transportasi utama.
Adelaide terkenal sebagai kota hijau Australia. Di setiap sudut, terlihat taman kota yang tertata apik dengan aneka tanaman serta arena duduk. Taman kota berfungsi untuk menyaring udara dari polusi. Pemerintah juga mencanangkan program penghijauan dengan menanam 3 juta pohon di seluruh wilayah yang berfungsi sebagai paru-paru kota.
Ruang terbuka hijau memang menjadi tuntutan setiap penduduk.

Sumber :
Rosy Nur Apriyanti, Trubus Edisi 462 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar