Kamis, 30 Mei 2013

Konservasi Terumbu Karang : Cangkok di Kedalaman 5-6 M



Di habitat aslinya, acropora tumbuh 1 cm/bulan. Gara-gara dipotong dengan tang, pertumbuhan melambat jadi 7—10 cm/tahun.


Gambar : Indukan karang di kepulauan Karimun Jawa

Sore itu di dasar laut berkedalaman 5—6 m. Sebuah tang aluminium memotong-motong cabang Acropora kimbeensis. Hasil potongan dibawa ke daratan untuk ditumbuhkan di dalam mangkuk berisi semen. Tujuh bulan kemudian karang siap dipanen. Sebelum ditanam, potongan-potongan karang itu dibersihkan dari lendir dalam bak berukuran 10 m x 1 m x 50 cm. Selanjutnya setiap potongan ditancapkan di dalam mangkuk terbuat dari campuran semen dan pasir dengan perbandingan 1:4. Sebagai perekat dipakai semen. Karang yang akan ditumbuhkan itu didiamkan dalam bak air laut bersalinitas 33 ppt selama 2—3 hari. Selanjutnya mereka diletakkan di mangkuk-mangkuk berisi potongan karang dalam anjang-anjang yang terbuat dari kayu meranti. Agar kuat, tiap mangkuk dilekatkan ke tali senar yang terpasang di kanan kiri baris anjang-anjang. Proses itu belum berakhir. Anjang-anjang lantas dipindahkan ke laut dan diletakkan dalam meja persegi panjang berpondasi beton. Selama 30 hari karang-karang itu tampak stres. Itu terlihat dari lapisan kerak atau encrusting yang terbentuk setebal 1—2 cm di atas substrat. Namun, dari lapisan kerak itu bermunculan polip-polip yang akan membentuk cabang karang baru. Dalam waktu 7 bulan karang sudah membentuk lebih dari 4 cabang dan siap dipanen. Panen dilakukan dengan cara mengangkat anjang-anjang ke daratan, lalu ditaruh dalam bak 10 m x 1 m x 50 cm. Sebelum dikemas, substrat yang tertutup lumut dan alga digosok. Setelah bersih, dasar substrat diikatkan ke gabus agar mengapung saat dimasukkan ke dalam kantong plastik berisi air hasil aerasi dengan skimmer. Oksigen ditambahkan ke dalam kantong plastik agar karang dapat bertahan hingga 48 jam perjalanan. Setelah itu plastik diikat dan dimasukkan dalam boks berkapasitas 15 kantong yang diberi lubang di kanan-kirinya. Supaya tetap segar, di atas plastik diberi bongkahan es lalu ditutup selembar plastik. Boks styrofoam itu dimasukkan dalam boks karton berlapis plastik. Karang-karang hasil budidaya pun siap dikirim ke negara tujuan.

Berpolip kecil
Itulah proses transplantasi karang yang rutin dilakukan PT Purawisata Baruna, unit koral, Grup Pura, di Pulau Sambangan, Kepulauan Karimunjawa, sejak 2002. Sebanyak 42.000 karang hasil budidaya diekspor ke Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol), Amerika Serikat, dan Asia (Hongkong, China, Singapura, dan Arab). Jumlah  itu sesuai dengan izin ekspor yang tertuang dalam SK Dirjen PHKA nomor SK 53/IV/IV-KKH/2007 tentang Penetapan Pembagian Kuota Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar 2007.
Bukan tanpa alasan perusahaan yang dikomandoi Jacobus Busono itu giat melakukan transplantasi. “Keragaman karang di sini tak kalah dengan Kepulauan Seribu atau Rajaampat di Papua. Namun, bila terus diambil maka akan punah,” kata Dwi Murtono, ST, pimpinan unit. Adanya transplantasi membuat ketersediaan karang melimpah dan tidak habis meski diekspor. Dampaknya, kehidupan terumbu karang tetap berlangsung harmonis. Yang ditransplantasi adalah jenis small polyp stony (karang batu berpolip kecil, red), seperti genus acropora, montipora, pocillopora, dan hydnopora. “Hampir 90% jenis-jenis itu karena memang pertumbuhannya cepat, terutama yang berbentuk cabang dan foliosa (daun),” kata Dwi. Sisanya jenis large polyp stony yang kebanyakan berbentuk massive (keras) dan submassive. “Masih dalam percobaan,” tambahnya. Itu lantaran bentuk massive dan submassive bulat dan keras bak batu sehingga sulit dipecah. Ditambah lagi pertumbuhannya lambat. “Setahun hitungannya milimeter,” tutur Dwi.
Achantastrea
Tingkat keberhasilan pencangkokan karang jenis-jenis itu mencapai 80%. Keberhasilan itu berkat kerja sama dengan zoocanthellae yang hidup dalam polip karang. “Zooxanthellae membantu penyerapan matahari untuk proses fotosintesis,” ujar Wisnu Widjatmoko, MSc. Menurut lulusan Biologi Karang Universitas Ryukios, Jepang itu matahari dibutuhkan karang sebanyak 95% untuk menghasilkan energi. Dari 80% yang berhasil dicangkok, 20%-nya dikembalikan ke alam—reseeding. Tujuannya untuk pelestarian terumbu karang. Karang yang dilepas ke alam ditaruh di dalam beton berukuran 40 cm x 40 cm. Letaknya berdekatan dengan karang yang tumbuh di alam. Keberhasilan mencangkok bukan berarti tanpa kematian. Sebanyak 20% karang mati gara-gara hama dan sedimentasi yang menyerang saat dipindahkan ke laut. Hama yang kerap mengganggu adalah Achantastrea plantii. Keluarga karang yang memiliki ratusan kaki itu memakan jaringan karang di dekatnya. Achantastrea itu bermunculan ketika bahan organik dan populasi karang padat. “Saat jumlah achantastrea melimpah, dalam sehari semua karang yang ditransplansi mati,” ujar Dwi. Hama lain adalah pinthaster yang berbentuk seperti bola. Ia sama ganasnya dengan achantastrea yang memakan polip karang. Selain jenis karang lain yang menjadi predator, alga pun mengganggu kehidupan karang. Contohnya alga ulfa dan spadina yang muncul setiap Agustus -Oktober. Keduanya menempel di substrat lalu menjalar sampai ke polip. Akibatnya tubuh karang tertutup dan tak dapat menyerap matahari.
Sedimentasi

Peletakkan anjang-anjang yang salah menjadi ancaman serius keberhasilan tranplantasi. Garagara salah pemilihan tempat, PT Purawisata Baruna harus menanggung kematian transplantasi sebanyak 50%. Itu akibat kesalahan meletakkan 20 anjang-anjang. Di kedua tempat itu arus laut kurang sehingga alga yang menjadi makanan karang menjadi sedikit. Selain arus, sedimentasi menjadi ancaman lain ketika salah meletakkan anjang-anjang. Saat upwelling (arus dari dasar laut naik ke atas, red) materi lumpur dan pasir akan terseret ombak. Laut menjadi keruh, materi menutupi polip, dan sinar matahari tidak dapat diserap. Akibatnya biota mati. Kejadian itu pernah menimpa pantai utara Jawa. Dari muara sungai limbah pabrik terbawa ke laut saat banjir. Dalam kondisi itu transplantasi karang akan mengalami kegagalan. Kekeruhan air dapat diukur dengan memakai tutup kaleng yang dicat hitam atau putih. “Warna apa saja bisa asal kontras dengan warna laut,” kata Arif Budiwibowo SPi, kepala operasional PT Purawisata Baruna. Saat tutup kaleng sudah tidak terlihat pada kedalaman 30 cm tandanya air laut keruh. Artinya sinar matahari tidak dapat diserap zooxanthellae karena terhalang oleh materi-materi sedimentasi. Untuk mengatasinya Arif merelokasi anjanganjang ke belakang pulau yang berjarak 200 m dari bibir pantai. Lokasi itu dipilih karena berarus sedang, tidak terlalu deras atau lemah. Arus sedang cocok untuk karang-karang dangkal seperti jenis-jenis yang dibudidayakan perusahaan yang berpusat di Jepara itu. Tak hanya itu saja, lokasi harus datar agar anjanganjang kuat saat diterjang arus. Hal lain, tempat anjang-anjang harus terhindar dari terjangan angin barat atau timur.

Dalam akurium
Proses transplantasi dapat juga dilakukan dalam akuarium. Seperti uji coba yang dilakukan Dr Unggul Aktani dan Center for Coastal and Marine Resources Studies Institut Pertanian Bogor pada 2004. Saat itu 5 cabang A. yongei dilekatkan dalam substrat campuran pasir dan semen, kemudian ditata dalam anjang-anjang. Anjanganjang tidak perlu dibawa ke laut, melainkan tetap dalam akuarium. “Yang terpenting kualitas air,” ujar Unggul. Agar sesuai dengan kondisi di laut, air yang dipakai
bersalinitas 30—34 ppt. Ketika salinitas naik lantaran terjadi penguapan, air dalam akuraium perlu ditambah air tawar. “Sampai nilainya kembali normal,” tambahnya. Untuk mengukur salinitas dipakai salinometer. Selain kualitas air, ketersediaan pakan artemia dan udang kecil menentukan keberhasilan pertumbuhan karang. Pakan itu diberi setiap hari. Sisa pakan dan kotoran diatasi dengan filter mekanis memakai spon. “Kotoran akan tersedot secara otomatis. Namun, filter secara rutin harus dibersihkan,” tutur alumnus Ekologi Terumbu Karang Universitas Bremen Jerman itu. Serangkaian perlakukan itu meningkatkan keberhasilan transplantasi dalam akuarium mencapai 70%. Sisanya, 30%, mati. Penyebabnya kualitas air dan perubahan suhu yang tajam. Di Bogor—tempat percobaan—suhu malam hari turun. Suhu akuarium pun ikut turun menjadi 24°C. Perlakuan serupa juga diterapkan Daniel Knop, akuaris asal Jerman. Beragam jenis acropora ditransplantasinya dalam akuarium. Hasilnya dipakai sebagai ornamen akuarium laut. Itulah beragam cara transplantasi. Hasil transplantasi, selain dikembalikan ke alam sebagai wujud pelestarian terumbu karang juga dapat di ekspor ke mancanegara. 

Sumber :  TRUBUS GOLD EDITION - II

Selasa, 28 Mei 2013

Keluarga Herawati Soekardi, "Detektif" Penyelamat Kupu-Kupu Sumatera Kerjanya Mencari Daun-Daun yang Bolong Dimakan Ulat


RUMAH-rumah mungil berderet di sepanjang jalan menuju puncak Gunung Betung, Bandar Lampung, Lampung. Seperti lazimnya di daerah pegunungan, rumah-rumah itu berjarak lumayan jauh antara satu dan yang lain.

Di antara rumah-rumah itu, berdiri sebuah rumah unik. Seluruh dindingnya terbuat dari papan kayu. Tidak ada yang berasal dari batu bata. Rumah tersebut berlantai dua. Tapi, posisinya berada di bawah jalan raya.

Rumah itulah yang dinamakan pemiliknya, Herawati Soekardi, sebagai markas besar Taman Kupu-Kupu Gita Persada. Sesuai namanya, rumah itu juga menjadi semacan museum kupu-kupu. Ratusan jenis kupu-kupu yang sudah diawetkan dipajang di seluruh penjuru dinding. Ada juga yang ditata rapi di beberapa kaca etalase.


Gambar kupu-kupu ( Sumber : Wikipedia )

"Beruntung sekali Anda ke sini pas hujan," ujar Herawati dengan ramah ketika ditemui di markasnya Selasa (28/8) siang. Saat itu gerimis turun menyejukkan udara di kaki Gunung Betung. Bagi komunitas kupu-kupu, musim hujan merupakan fase membeludaknya populasi satwa indah itu di habitatnya.
 
Menurut Herawati, di kawasan kaki Gunung Betung kini terdapat 170 spesies kupu-kupu dari enam famili yang berbeda. Yaitu, famili papilionidae yang terdiri atas 20 spesies, pieridae (15), nymphalydae (60), lycaenidae (34), riodinidae (1), dan hesperlidae (30).
Di antara spesies kupu-kupu khas Sumatera itu, ada dua yang masuk kategori dilindungi karena makin langka. Dua spesies itu adalah cethosia hypsea (kupu-kupu renda batik) dan troides helena cerberus. "Tinggal sedikit di alam liar. Makanya harus dilindungi supaya tidak punah," ujar perempuan pertama ahli kupu-kupu di Indonesia itu.
Setelah hujan reda, Jawa Pos diajak keliling di taman tak jauh dari markas Taman Kupu-Kupu Gita Persada. Di taman seluas hampir 5 hektare itu memang sangat gampang menemukan kupu-kupu beterbangan atau hinggap di bunga-bunga yang mekar. Warnanya yang indah membuat kagum yang memandang. Bahkan, ada kupu-kupu "raksasa" yang bentang sayapnya hampir seukuran kepingan VCD.
"Kebanyakan kupu-kupu ini asli Sumatera. Tapi, beberapa juga ada di Jawa, Kalimantan, Malaysia, dan Singapura," ujar istri Anshori Djausal itu.
Ibunda Alia Larasati, Meizano, Gita Paramita, dan Anisa Nuraisa itu menuturkan, tamannya juga menjadi kawasan penangkaran kupu-kupu. Di tempatnya kupu-kupu dibiarkan bebas berkembang. Sedangkan di tempat lain, kupu-kupu dijaring, lalu dikan. "Dengan cara seperti itu, risiko kematian atau kegagalan budi daya lumayan tinggi."
Dalam perjalanan profesinya sebagai ahli kupu-kupi, Herawati telah "menciptakan" ilmu baru tentang pelestarian atau konservasi kupu-kupu. Sistem konservasi yang dilakukan adalah menanam pepohonan atau bunga-bungaan yang menjadi santapan alami ulat yang nanti menjadi kupu-kupu.
Dengan cara itu, untuk konservasi tidak perlu dengan menjaring kupu-kupu di hutan, lalu dilepas di taman. Risiko kematiannya lebih besar. "Jika ditangkar saja, tetapi tidak disiapkan makannya, tidak akan bisa hidup atau berkembang biak," kata doktor biologi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Herawati menuturkan, pada awalnya upaya konservasi kupu-kupu asli Sumatera cukup sulit. Dia bersama empat anaknya harus bahu-membahu mencari tanaman yang secara alami menjadi santapan ulat atau kupu-kupu. Kondisi kian sulit karena pada awal pendirian taman kupu-kupu pada 1997"1998 tidak ada referensi tentang tumbuhan-tumbuhan yang khusus untuk makanan ulat atau kupu-kupu.
 
Meski begitu, Herawati bersama suami dan anak-anaknya tidak menyerah. Mereka lalu melakukan riset khusus untuk mengetahui jenis tanaman apa saja yang biasa menjadi konsumsi ulat-ulat yang berkeliaran di hutan. "Kami menggunakan naluri seperti detektif untuk mengidentifikasi tanaman-tanaman yang biasa dimakan ulat tersebut."
Cara detektif itu dilakukan dengan memelototi dedaunan di dalam hutan. Setiap ada daun yang habis digerogoti ulat, keluarga Herawati memberikan tanda. Sebab, selain sebagai santapan ulat sehari-hari, pohon itu pasti menjadi tempat meletakkan telur kupu-kupu.
"Insting kupu-kupu selalu meletakkan telur di daun yang akan menjadi makanan ulat agar bila menetas si ulat sudah langsung mendapat makanannya," kata perempuan kelahiran Palembang, 14 Agustus 1951, itu.
Dari teori yang dia pelajari, dalam radius lima meter dari daun yang meninggalkan bekas gerogotan, besar kemungkinan ada ulatnya. Minimal ada telur kupu-kupu. Bahkan, juga kupu-kupu yang beterbangan.
Jika menemukan daun seperti itu, Herawati lalu mencari bibit tanamannya untuk ditanam di tamannya. Terkadang dia juga mencari ulat atau telur kupu-kupu untuk ditempatkan di penangkaran. "Tapi, saya tidak menangkap kupu-kupunya."
Hobi meneliti dedaunan yang dimakan ulat itu terbawa hingga saat di tempat-tempat yang banyak pepohonannya. Misalnya, ketika mereka berkunjung ke Taman Nasional Way Kambas atau Taman Nasional Bukit Barisan. "Saya terus berusaha menambah koleksi pepohonan baru sehingga koleksi kupu-kupunya bisa terus meningkat," ucapnya.
 
Saat ini di belakang rumah kayu yang dijadikan markas Taman Kupu-Kupu Gita Persada itu tumbuh 160 jenis tanaman. Mulai berbagai jenis bunga, rerumputan, pohon pisang, kelapa, rotan, hingga bambu.
Selain itu, ada pohon kayu hara atau pohon madu yang khas Lampung. "Di sini setiap spesies kupu-kupu memiliki makanan berbeda," terang Martinus, menantu Herawati yang menjadi manajer operasional taman kupu-kupu itu.
Obsesi Herawati dan keluarga untuk terus menambah koleksi kupu-kupu khas Sumatera terus diupayakan. Pasalnya, berdasar literatur yang dia pelajari, kupu-kupu khas Sumatera terdapat lebih dari 1.500 spesies. Sedangkan yang sudah dikoleksi taman itu baru 10 persennya. Karena itu, Herawati akan terus mencari tanaman baru yang menjadi sumber makanan ulat atau kupu-kupu spesies baru.
Konservasi kupu-kupu  tidak bisa dia kerjakan sendirian. Untuk itu, Herawati berharap agar taman kupu-kupu miliknya bisa menjadi model bagi tempat konservasi lain. "Kalau mengalami kesulitan tanaman untuk konsumsi ulat, kami siap menyuplai. Di sini banyak," tuturnya.
Taman kupu-kupu Herawati kini menjadi jujukan riset atau rekreasi para pencinta kupu-kupu dari berbagai kota di tanah air. Bahkan, ada sebuah hotel besar yang berniat membuat penangkaran kupu-kupu seperti yang dilakukan Herawati.
Menurut Herawati, semestinya di Sumatera tidak hanya taman kupu-kupu di Lampung yang dikembangkan. Tapi, perlu di lokasi lain untuk "menjaring" kupu-kupu dari kawasan Palembang atau Medan. "Harapan saya, di kota-kota tadi juga ada warga yang berinisiatif mendirikan taman kupu-kupu," katanya.
 
Herawati menegaskan, upaya konservasi kupu-kupu dari kepunahan bukan persoalan sepele. Memang, pada  awalnya Herawati sempat dicibir karena pamor kupu-kupu Sumatera kalah ketimbang badak, harimau, atau gajah Sumatera.
Tapi, Herawati tetap ngotot bahwa keragaman corak warna kupu-kupu merupakan kekayaan alam tropis yang harus dilestarikan. "Kekayaan alam kita ini harus dijaga dan dilestarikan sebelum nanti diklaim milik negara lain," tandas dia.

Sumber : JPNN  Kamis, 30 Agustus 2012

Senin, 27 Mei 2013

Monyet Tembus Langit


Dari kaca helm itu Albert III tampak tertidur pulas. Napasnya bergerak teratur meski dadanya dijepit tali-tali pengaman kursi. Ia memang dibius agar duduk tenang di dalam pesawat V2 yang terbang ke lapisan termosfer di ketinggian sekitar 440.000 kaki. Sayang hingga akhir hayat Albert III tak pernah siuman. Saat menembus lapisan termosfer itu tabung bahan bakarnya meledak hingga pesawat terburai menjadi serpihan-serpihan kecil.
Albert selalu dikenang di dunia penerbangan Amerika Serikat karena ia-lah monyet ekor panjang Macaca fascicularis pertama yang digunakan untuk proyek awal misi pendaratan manusia di bulan. Albert-Albert lain kemudian datang menggantikannya hingga manusia yakin untuk menjelajahi ruang angkasa bukan mustahil. Dua astronot Amerika Serikat Neil Amstrong dan Edwin Aldrin pun tenang menjejak bulan pada 20 Juli 1969.
Di balik polahnya yang 'semau gue', monyet menyumbang jasa besar. 'Monyet banyak dipakai untuk penelitian karena anatomi dan fisiologi tubuhnya mirip manusia,' ujar Dr Ir Entang Iskandar dari Pusat Studi Satwa Primata IPB. Seperti Albert III yang menembus langit, alat-alat yang dipasang di tubuhnya mendeteksi segala perubahan metabolisme sebagai dampak penyesuaian dari perubahan gaya gravitasi bumi. Ujungnya lahir pakaian astronot yang nyaman.
Menurut Dr Jatna Supriatna, ahli primata di Jakarta, besarnya pemanfaatan itu tak lepas dari luasnya penyebaran dan melimpahnya populasi monyet. Bayangkan monyet-monyet itu terserak dari 20°LU – 10°LS dan 92°BT – 128°BT. Itu artinya hampir seperempat luas bumi terdapat monyet. 'Makanya sejak lama monyet dipakai sebagai labratory model - hewan model percobaan,' tambah President of Southeast Asia Primatologist Association itu.

 Gambar : Monyet ekor panjang

Di Indonesia monyet ekor panjang diduga datang dari daratan Asia Tenggara. Penyebarannya terjadi pada masa pleistosen sekitar 1-juta tahun lalu. Saat itu daratan Asia Tenggara masih bersatu dengan lempeng sunda akibat pembentukan lempeng es - glasiasi - dan penurunan permukaan air laut. Hipotesis ini berkaitan dengan temuan fosil tertua crab-eating monkey - sebutan lain - dengan umur sama di Desa Trinil, sekitar 13 km dari Ngawi, Jawa Timur.
Fosil tua lainnya muncul di kawasan timur tanahair. Pulau Timor di Nusa Tenggara Timur menyimpan fosil hewan berkromosom 42 itu dengan umur 4.500 tahun. Demikian pula Pulau Flores yang memiliki fosil monyet berumur 3.500 tahun. Temuan-temuan itu meyakinkan ahli-ahli primata bahwa penyebaran hewan yang memiliki 11 subspesies di Indonesia itu dimulai dari kawasan barat ke arah timur.
Sejalan dengan waktu, monyet ekor panjang yang terestrial - aktivitas lebih banyak di tanah-itu banyak bersinggungan dengan manusia. Di berbagai pura di Bali, monyet yang tinggal di dalamnya dianggap sebagai hewan suci. Antropolog Amerika James E Loundon yang meneliti mengungkapkan monyet-monyet itu sebagai salah satu wujud harmonisasi manusia terhadap paham Tri Hita Karana. Paham itu menyebutkan kunci kebahagiaan hidup adalah harmonisasi antara tuhan, manusia, dan alam. Monyet bagian dari alam.
Dalam astrologi China monyet bahkan dipakai sebagai stereotip untuk melambangkan karakter manusia. Siapa tak kenal dengan tahun monyet? Monyet disebutkan punya segudang keunggulan: fleksibel, cerdik, inovatif, mampu memecahkan masalah, objektif, dan punya libido besar. Sisi minusnya boros dan mau menang sendiri. Mungkin ingin memiliki sifat unggul terakhir, punya libido besar, hewan multi male group - satu kelompok terdiri dari jantan, betina, dan anak - itu disantap otaknya oleh segelintir orang. Investigasi ProFauna, lembaga perlindungan dan pelestarian satwa liar di habitatnya, di Jakarta, mengungkapkan otak monyet segar itu diseruput bersama arak. Itu dilakukan semata-mata mendongkrak stamina kaum adam yang belum teruji secara medis.
Tak hanya diagungkan, monyet juga punya catatan buruk. Contohnya penelitian Aldi Zulwan dari IPB pada 2002. Hewan quadropedolism - berjalan dengan 4 kaki - itu menjadi hama di Dusun Nyemani Kulonprogo, Yogyakarta. Sang monyet bersama kawan-kawannya sering dipergoki merusak umbi-umbi palawija dan memakan pisang petani. 'Penyebabnya banyak, bisa jadi sumber pakan di habitatnya terganggu atau penduduk memang menanam tanaman yang disukai monyet,' kata Entang Iskandar.
Namun demikian monyet ekor panjang tetap punya nilai lebih. Alm. Mbah Surotoluh dari Desa Kertosari, Kecamatan Geger, Madiun, Jawa Timur, menilai monyet ideal dipakai sebagai hewan pertunjukan. Pada 1960 Surotoluh menjadi pelopor pertunjukan topeng atau doger monyet yang belakangan kondang di tanahair. Namun, atraksi yang digemari anak-anak kecil itu prosesnya tidak sesederhana yang terlihat.
Untuk atraksi-atraksi seperti membawa cangkul, mobil, atau berjungkir-balik, monyet betina yang paling cocok dipakai. Betina disukai karena daya ingatnya moncer dan tidak lekas bosan. Jantan? Selain galak, kemampuan improvisasinya cekak sehingga sulit diajak bermain. Nah umur monyet yang dipakai pun ada standarnya. Paling bagus kurang dari setahun atau maksimal 1,5 tahun. Lebih dari itu ibarat menancapkan paku pada besi, sulit tembusnya.
Monyet ekor panjang memang dekat dengan kehidupan Homo sapiens. Jadi, sudah sepantasnya selain dimanfaatkan jasanya secara bijaksana, mereka perlu dipayungi etika agar hidupnya nyaman. Ujung dari semua itu adalah meningkatnya kebahagiaan manusia. 


Sumber : Dian Adijaya S, Trubus Edisi 462 May 2008

Jumat, 24 Mei 2013

Ruang Terbuka Hijau Antara Tuntutan dan Kebutuhan


Kolam seluas sekitar 12 m2 berada tepat di tengah taman botanic Puri Botanical Residence, Jakarta Barat. Suara gemericik air pancuran yang jatuh ke kolam memberi kesejukan bagi pengunjung yang tengah duduk di bangku kayu panjang yang terletak di pinggir kolam. Ditambah kehadiran ratusan tanaman langka, taman semakin nyaman sebagai tempat bersantai.
Pantas bila warga perumahan Puri Botanical Residence bersuka hati dengan kehadiran taman yang rencananya akan dibangun seluas 4,5 ha itu. Maklum, kehadiran ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta sebagai tempat rekreasi, berolahraga, bermain anak, dan bersantai untuk melepaskan kepenatan, jumlahnya masih terbatas. Saat ini kehadirannya mayoritas berlokasi di pemukiman kelas menengah ke atas.
Secara prinsip, kebutuhan RTH tidak mengenal tingkat kelas sosial ekonomi. Namun, dalam implementasinya seringkali penduduk yang berada di pemukiman padat di kota, kurang memperhatikan fungsi penting RTH. Padahal, ‘Hijau itu bukan biaya, tapi manfaatnya lebih banyak. Salah satunya berkurangnya tingkat stres,’ kata Sarwo Handayani, kepala Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta. Salah satu faktor kurangnya perhatian penduduk di pemukiman padat terhadap RTH adalah kebutuhan hunian yang murah dan berada dekat dengan tempat usaha. Oleh karenanya mereka bersedia tinggal berdesak-desakan dengan minim ruang terbuka.
Padahal, besarnya persentase tutupan hijau dengan ruang non-hijau menjadi salah satu parameter untuk menganalisis banjir. Semakin besar persentase RTH, kemungkinan risiko banjir relatif kecil. Air hujan yang jatuh akan berinfiltrasi atau masuk ke dalam tanah dan sebagian kecil menjadi limpasan atau aliran permukaan. Sebaliknya apabila persentase RTH kecil, peluang terjadinya limpasan akan semakin besar, akibatnya risiko banjir akan semakin besar pula.
Luas
Luasan ruang terbuka hijau sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Ada yang menyatakan 10%, 20%, 30% bahkan hingga 60%. Sebut saja perumahan Puri Botanical Residence dan Bumi Serpong Damai yang menyediakan 40% sebagai ruang terbuka hijau, sementara Bogor Nirwana Residence, 60%. Berbagai pendekatan dapat digunakan sesuai dengan karakteristik kota sehingga menyebabkan persentase luasan RTH sangat bervariasi.
Penentuan luas hutan kota sebagai RTH ada yang mengacu pada jumlah penduduk dan kebutuhan ruang gerak per individu. Di Malaysia luasan hutan kota ditetapkan seluas 1,9 m2/penduduk; Jepang, 5,0 m2/penduduk; Dewan kota Lancashire Inggris menetapkan 11,5 m2/penduduk; Amerika menentukan luasan hutan yang lebih fantastis, yaitu 60 m2/penduduk; sedangkan DKI Jakarta mengusulkan luasan taman untuk bermain dan berolahraga sebesar 1,5 m2/penduduk.
Berdasarkan Konferensi Bumi pada 1992 yang berlangsung di Rio de Jeneiro, Brasil, disepakati setiap negara wajib mengalokasikan luas ruang terbuka hijau sebesar 30% di setiap kota besarnya. Menurut Sarwo berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 1995 – 2010 RTH hanya ditargetkan sebesar 13,94% dari luas Jakarta, yang hingga saat ini baru terpenuhi 10%. Namun, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan dan dampak dari pemanasan global, pemerintah meningkatkan kebutuhan ruang terbuka hijau. Dalam Undang-Undang Tata Ruang No. 26/2007, ditetapkan ruang hijau di DKI Jakarta sebesar 30%.
Ruang hijau bisa berupa taman kota, jalur hijau, dan tempat pemakaman umum. Taman kota tersebar di setiap wilayah sebagai sarana bermain, olahraga, dan rekreasi. Sebut saja, ‘Taman Menteng, taman Monas (taman Medan Merdeka, red), taman Ragunan, taman Lapangan Banteng, taman Graha Cijantung, dan taman Puring,’ ujar Sarwo.
Dalam pemilihan jenis tanaman, Dinas Pertamanan DKI Jakarta menentukan beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Sebut saja, kuat atau tidak mudah tumbang, cocok dengan lingkungan tempat penanaman, mampu menyerap polutan, daunnya tidak mudah gugur sehingga tak kotor, sosoknya cantik, dan sebaiknya berbunga. ‘Karena Jakarta ibukota negara sehingga faktor keindahan diutamakan,’ kata Sarwo. Sementara untuk wilayah pemukiman dapat memilih pohon produktif seperti pohon buah di pekarangan rumah atau tanaman antinyamuk.
Paru-paru kota
Nun di Singapura, hanya mengandalkan dua jenis tanaman, pohon dan rumput yang ditanam menyatu membentuk RTH kota yang nyaris tak terputus. Hutan kota, taman kota, taman pemakaman umum, lapangan olahraga, jalur hijau jalan raya dan di bawah jalan layang, bantaran rel kereta api, bantaran sungai, hingga tepi pantai saling menyatu. Yang mendominasi pohon-pohon besar berumur puluhan hingga ratusan tahun – berdiameter lebih dari 50 cm – dan bukit rumput. Sebuah ciri khas kota taman bergaya Inggris karya Ebenezer Howard. Di tanahair taman seperti itu masih dapat disaksikan di Kebun Raya Bogor.
Sementara itu, di antara pepohonan dan padang rumput diselingi jenis palem dan tanaman perdu yang tidak terlalu membutuhkan sinar matahari. Tanaman berbunga indah warna-warni justru jarang ditemui, kecuali di sekitar kawasan Bandara Internasional Changi dengan dominasi bunga bugenvil, atau di kantong-kantong pojok persimpangan jalan raya.
Ketersediaan ruang teduh mendorong sebagian besar warga kota dan pendatang rela berjalan kaki menuju ke berbagai tempat tujuan dengan nyaman dan aman, dalam lingkungan kota yang benar-benar asri, sejuk, dan segar. Misalnya di kawasan Orchard Road. Teduhnya lindungan bayang-bayang pohon trembesi yang berbentuk seperti payung membuat pejalan kaki merasa aman meski suhu udara tidak beda jauh dengan Jakarta.
Itu semua dihadirkan karena Singapura paham betul pohon sebagai paru-paru kota. Ia produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Kemampuan pohon mensuplai oksigen tergambar dari hitung-hitungan berikut. Sebagai patokan, lahan seluas 1.600 m² yang terdapat 16 pohon masing-masing berdiameter tajuk 10 m mampu menyuplai oksigen (O²) sebesar 14.000 liter. Setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap 8 kg CO² yang setara dengan CO² yang diembuskan oleh napas 200 orang dalam waktu yang sama. Jika satu liter O² dihargai Rp100, maka sebatang pohon menghemat biaya oksigen sebesar Rp1.400.000 per hari atau Rp511- juta per tahun per orang.

Gambar Taman kota ( sumber : panduanwisata.com )
 

Kota hijau
‘Kota yang bagus adalah kota yang mengutamakan pejalan kaki,’ kata Baginda Simatupang dari Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia (IALI). Contohnya di Kualalumpur, Malaysia. Di sana trotoar bagi pejalan kaki dibuatkan atap sehingga ketika hujan terhindar dari basah kuyup.
Sementara di La Rambla, Barcelona, lebar areal pedestrian kira-kira 20 meter. Di kiri-kanan areal pedestrian terdapat jalur kendaraan yang hanya satu lajur.
Nun di Adelaide, Australia, bersepeda atau pun berjalan kaki tak perlu khawatir akan kenyamanan dan keamanan karena telah disediakan jalur dan parkir khusus. Jalurnya bersebelahan dengan jalur mobil dan ada rambu-rambu yang mewajibkan mobil mengalah kepada pesepeda dan pejalan kaki. Salah satu kriteria kota hijau atau green city adalah memprioritaskan pesepeda dan pejalan kaki. Tak heran bila ratusan penduduk di sana menggunakan sepeda sebagai transportasi utama.
Adelaide terkenal sebagai kota hijau Australia. Di setiap sudut, terlihat taman kota yang tertata apik dengan aneka tanaman serta arena duduk. Taman kota berfungsi untuk menyaring udara dari polusi. Pemerintah juga mencanangkan program penghijauan dengan menanam 3 juta pohon di seluruh wilayah yang berfungsi sebagai paru-paru kota.
Ruang terbuka hijau memang menjadi tuntutan setiap penduduk.

Sumber :
Rosy Nur Apriyanti, Trubus Edisi 462 Mei 2008

Kamis, 23 Mei 2013

Jumiati, Peraih Female Food Heroes Indonesia 2013 Dianggap Gila, Kini Bikin Industri Kerupuk Mangrove

BERKAT kegigihannya berinovasi, Jumiati, warga pesisir pantai Sumatera Utara, mampu menggerakkan perekonomian desa. Dia pun menjadi seorang di antara tujuh perempuan peraih penghargaan dari organisasi nirlaba Inggris, Oxfam, sebagai pahlawan pangan perempuan (Female Food Heroes) Indonesia 2013.




Gambar hutan Mangrove (Gambar dari http://andreasdamanik14.files.wordpress.com)

Senja mulai turun di pesisir pantai Sei Nagalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Semilir angin mendorong ombak membentuk riak-riak kecil, membasahi butir-butir hamparan pasir putih.

Hening di desa terpencil itu terpecahkan pekik burung-burung bangau yang tengah bermain-main dengan pucuk-pucuk daun hutan mangrove yang menghampar bagai benteng panjang menghijau.

Kendati gelap mulai mengejar, Jumiati masih membenamkan tubuhnya di lumpur kental setinggi dada. Dia, bersama beberapa perempuan lain, tengah menanam bibit-bibit mangrove. Kala itu, dia tengah menuntaskan penanaman 2 ribu bibit mangrove di lahan 2 hektare. Jumiati dan para istri nelayan itu butuh waktu dua hari untuk merampungkannya.

"Kami punya tekad untuk memperbaiki hutan mangrove di sini," ungkap Jumiati mengenang awal dirinya membangun hutan mangrove di Sei Nagalawan.

Pernyataan itu dia ungkapkan ketika bertemu Jawa Pos seusai menerima penghargaan Female Food Heroes Oxfam di Jakarta, awal Maret lalu. Selain Jumiati, ada enam perempuan lain yang mendapat penghargaan yang sama.

Perempuan 32 tahun itu merupakan aktor penggerak 12 perempuan kelompok nelayan untuk penyelamatan hutan mangrove yang gundul di pesisir pantai itu pada 2002.

Bukan tanpa maksud dia mengorbankan diri bekerja setiap hari demi hutan mangrove. Jumiati dan 12 istri nelayan tersebut memercayai bahwa suatu saat hutan mangrove bisa mengangkat dan memperbaiki perekonomian warga Sei Nagalawan, desa yang kala itu masih dikategorikan miskin oleh pemerintah.

Perempuan berkerudung itu menerangkan, dahulu roda perekonomian Desa Sei Nagalawan sangat buruk. Jumiati dan keluarganya adalah salah satu yang tak terhindar dari kehidupan di garis kemiskinan.

Bahkan, dia mengaku, saat melahirkan bayi pertamanya sebelas tahun lalu, dirinya dan suami, Sutrisno, hanya memiliki duit Rp 3.000. Tak pelak, kelahiran anak sulung yang diberi nama Putri Zona Samudera itu terpaksa melalui jasa dukun.

Pascamelahirkan pun, Jumiati dan suaminya masih dilanda kegundahan karena tidak memiliki uang untuk membeli popok dan pakaian bagi bayi mereka. "Saya terpaksa mengetuk rumah tetangga dan saudara untuk meminta kain atau popok bekas," ungkapnya.

Sejak saat itu, Jumiati terpantik untuk lepas dari belenggu kemiskinan. Dia pun berpikir untuk bangkit dari kemiskinan dengan menggerakkan roda perekonomian rakyat secara masif.

Kemiskinan melanda Sei Nagalawan karena mata pencaharian warga sebagai nelayan sering terkendala cuaca buruk, ombak laut yang ganas. Jumiati pun menilai hutan mangrove yang gundul harus segera dibangkitkan. Dia memelopori gerakan tanam mangrove lewat kelompok nelayan Muara Tanjung.

"Awalnya banyak yang mencibir. Tapi, saya lanjut terus. Bahkan, sebelumnya masyarakat menganggap kami gila dan kurang kerjaan," ungkapnya.

Kini, delapan tahun kemudian, Jumiati dan ibu-ibu kelompok nelayan mampu menumbuhkan 12 hektare mangrove di pesisir pantai desa tersebut."Mangrove-mangrove itu pun menjelma menjadi hutan yang menumbuhkan kehidupan yang dulu hilang.

Sekarang, kata Jumiati, masyarakat mudah menemukan kepiting batu disela akar-akar mangrove. Ikan semilan, kerang lokan, dan berbagai binatang laut hidup di hutan mangrove tersebut.

"Melaut kini sudah tidak perlu jauh-jauh lagi. Satu mil saja sudah dapat banyak ikan," jelasnya lantas tersenyum.

Masyarakat Muara Tanjung yang awalnya memalingkan muka kini mengakui ide brilian Jumiati. Dia tak hanya membahagiakan keluarga dan warga desanya, tujuh hektare di antara keseluruhan hutan mangrove garapannya saat ini menjadi kawasan ekowisata.

"Di sekitar area yang disebut Kampung Nipah tersebut, dibangun track secara swadaya. Orang pun kini bisa menikmati keindahan mangrove tanpa harus menyeberang. Cukup dengan berjalan kaki di pinggir pantai.

Perjuangan Jumiati untuk membebaskan wilayahnya dari krisis pangan tidak berhenti di situ. Untuk mendapat penghasilan tambahan bagi keluarga, dia menggerakkan kelompok perempuan nelayan untuk mengolah mangrove jenis jeruju menjadi kerupuk dan minuman teh.

Sementara itu, buah mangrove jenis pidada diproduksi menjadi sirup. Ada juga mangrove api-api yang bisa diolah menjadi dodol serta tepung kue.

Jumiati mengaku tidak pernah terpikir untuk membuat kerupuk dari mangrove. Apalagi bagi ibu-ibu yang kebanyakan hanya lulusan SD itu. Mereka semula menganggap pohon mangrove hanya berfungsi melindungi desa dari angin kencang, terjangan ombak, serta abrasi.

Hingga 2006, Jumiati mendapat ide hasil diskusi dengan para aktivis tambang Sumatera Utara. "Saya kaget mengetahui bahwa mangrove ternyata bisa dijadikan kerupuk, sirup, dan dodol. Ini peluang untuk memberdayakan perempuan nelayan di desa kami," terangnya.

Dengan mengolah ujung daun mangrove dengan adonan tepung yang telah dibumbui, ungkap Jumiati, mangrove jeruju (Acantus ilicifolius) bisa dijadikan kerupuk. Sebelum menjadi kerupuk yang renyah, duri-duri daun jeruju harus dihilangkan. Lalu, dicuci bersih dan digiling halus bersama campuran bawang. Kendati tanpa bahan pengawet, kerupuk mangrove jeruju bisa bertahan hingga sebulan.

"Hasil kerupuk mangrove jeruju ini telah menghasilkan omzet Rp 3 juta per bulan," jelasnya.

Pada 2010, Jumiati dan kelompok nelayannya mengembangkan mangrove api-api menjadi dodol. Bahkan, tepung mangrove api-api bisa digunakan untuk campuran bahan baku kue-kue kering.

Dia menjelaskan, dodol yang diolah masih rasa mangrove asli. Inovasi dengan rasa lain masih dipertimbangkan. Jumiati tidak ingin ciri khas rasa mangrove tersebut hilang.

Tak hanya itu, dodol mangrove tidak bisa bertahan lama. Maksimal hanya sepuluh hari. Sebab, dalam pengolahan, Jumiati tidak menggunakan bahan pengawet. "Kami masih mempertahankan keaslian bahan mangrove-nya."

Kelompok nelayan perempuan bentukan Jumiati terus berkembang, baik kegiatan maupun anggotanya. Jenis olahan mangrove garapan mereka juga terus bertambah tanpa mengurangi fungsi pengendalian lingkungan. Kerupuk ikan teri, kerupuk ikan tongkol, serta teh jeruju bisa menembus pasar dan membantu perekonomian nelayan.

Bahkan, Jumiati dan kelompok nelayannya mampu mengupah tenaga kerja untuk memproduksi kerupuk mulai Rp 10 ribu per hari.

"Saya tidak menyangka, hasil jerih payah saya bersama perempuan nelayan dulu berdampak ekonomis bagi warga," ungkapnya. 

Referensi :
 - JPNN Selasa, 19 Maret 2013

Rabu, 22 Mei 2013

Tanaman Penyerap Karbondioksida





Tanaman merupakan penyerap karbondioksida (CO2) di udara. Bahkan beberapa diantara tanaman-tanaman itu sangat jago, mempunyai kemampuan besar, untuk menyerap karbondioksida (CO2). Pohon trembesi (Samanea saman), dan Cassia (Cassia sp) merupakan salah satu contoh tumbuhan yang kemampuan menyerap CO2-nya sangat besar hingga mencapai ribuan kg/tahun.
Sebagaimana diketahui, tumbuhan melakukan fotosistesis untuk membentuk zat makanan atau energi yang dibutuhkan tanaman tersebut. Dalam fotosintesis tersebut tumbuhan menyerap karbondioksida (CO2) dan air yang kemudian di rubah menjadi glukosa dan oksigen dengan bantuan sinar matahari. Kesemua proses ini berlangsung di klorofil. Kemampuan tanaman sebagai penyerap karbondioksida akan berbeda-beda.
Banyak faktor yang mempengaruhi daya serap karbondioksida. Diantaranya ditentukan oleh mutu klorofil. Mutu klorofil ditentukan berdasarkan banyak sedikitnya magnesium yang menjadi inti klorofil. Semakin besar tingkat magnesium, daun akan berwarna hijau gelap.
Daya serap karbondioksida sebuah pohon juga ditentukan oleh luas keseluruhan daun, umur daun, dan fase pertumbuhan tanaman. Selain itu, Pohon-pohon yang berbunga dan berbuah memiliki kemampuan fotosintesis yang lebih tinggi sehingga mampu sebagai penyerap karbondioksida yang lebih baik. Faktor lainnya yang ikut menentukan daya serap karbondioksida adalah suhu, dan sinar matahari, ketersediaan air.
Trembesi Juara Pohon Penyerap Korbondioksida. Adalah Endes N. Dahlan, seorang dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang melakukan penelitian daya serap karbondioksida pada berbagai jenis pohon. Penelitian yang dilakukan pada 2007-2008 memberikan hasil bahwa trembesi (Samanea saman) terbukti menyerap paling banyak karbondioksida. Dalam setahun, trembesi mampu menyerap 28.488,39 kg karbondioksida.

 
Gambar Pohon trembesi
Selain pohon trembesi, didapat juga berbagai jenis tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi sebagai tanaman penyerap karbondioksida (CO2). Pohon-pohon itu diantaranya adalah cassia, kenanga, pingku, beringin, krey payung, matoa, mahoni, dan berbagai jenis tanaman lainnya.
Daftar Pohon Penyerap Karbondioksida. Berikut merupakan daftar tanaman yang mempunyai daya serap karbondioksida yang tinggi berdasarkan hasil riset Endes N. Dahlan. (No, nama pohon, nama latin, daya serap).
  1. Trembesi, Samanea saman, 28.488,39 kg/tahun
  2. Cassia, Cassia sp, 5.295,47 kg/tahun
  3. Kenanga, Canangium odoratum, 756,59 kg/tahun
  4. Pingku, Dyxoxylum excelsum, 720,49 kg/tahun
  5. Beringin, Ficus benyamina, 535,90 kg/tahun
  6. Krey payung, Fellicium decipiens, 404,83 kg/tahun
  7. Matoa, Pometia pinnata, 329,76 kg/tahun
  8. Mahoni, Swettiana mahagoni, 295,73 kg/tahun
  9. Saga, Adenanthera pavoniana, 221,18 kg/tahun
  10. Bungur, Lagerstroemia speciosa, 160,14 kg/tahun
  11. Jati, Tectona grandis, 135,27 kg/tahun
  12. Nangka, Arthocarpus heterophyllus, 126,51 kg/tahun
  13. Johar, Cassia grandis, 116,25 kg/tahun
  14. Sirsak, Annona muricata, 75,29 kg/tahun
  15. Puspa, Schima wallichii, 63,31 kg/tahun
  16. Akasia, Acacia auriculiformis, 48,68 kg/tahun
  17. Flamboyan, Delonix regia, 42,20 kg/tahun
  18. Sawo kecik, Maniilkara kauki, 36,19 kg/tahun
  19. Tanjung, Mimusops elengi, 34,29 kg/tahun
  20. Bunga merak, Caesalpinia pulcherrima, 30,95 kg/tahun
  21. Sempur, Dilenia retusa, 24,24 kg/tahun
  22. Khaya, Khaya anthotheca, 21,90 kg/tahun
  23. Merbau pantai, Intsia bijuga, 19,25 kg/tahun
  24. Akasia, Acacia mangium, 15,19 kg/tahun
  25. Angsana, Pterocarpus indicus, 11,12 kg/tahun
  26. Asam kranji, Pithecelobium dulce, 8,48 kg/tahun
  27. Saputangan, Maniltoa grandiflora, 8,26 kg/tahun
  28. Dadap merah, Erythrina cristagalli, 4,55 kg/tahun
  29. Rambutan, Nephelium lappaceum, 2,19 kg/tahun
  30. Asam, Tamarindus indica, 1,49 kg/tahun
  31. Kempas, Coompasia excelsa, 0,20 kg/tahun
Tumbuhan-tumbuhan tersebut adalah jagoan penyerap karbondioksida berdasarkan riset yang dilakukan oleh Endes N. Dahlan yang dipublish awal 2008. Tidak menutup kemungkinan masih terdapat pohon-pohon lain yang mempunyai kemampuan daya serap karbondioksida yang lebih tinggi.
Namun, upaya yang dilakukan Endes N. Dahlan ini patut kita acungi jempol yang membuat kita dapat lebih tepat memilih tanaman yang mempunyai kemampuan ekstra sebagai penyerap karbondioksida dalam upaya mengurangi polusi udara dan mengurangi dampak pemanasan global.
 
Ukuran daun trembesi Samanea saman memang mungil, tak lebih dari koin Rp100. Namun, ia paling unggul dalam menyerap karbondioksida. Dalam setahun sebuah pohon trembesi mampu menyerap 28.488,39 kg karbondioksida. Pohon berkanopi mirip payung itu layak menyemarakkan program pemerintah: Gerakan Menanam dan Merawat Sepuluh Juta Pohon.

Soal kehebatan trembesi menyerap polutan itu dibuktikan Dr Ir Endes N Dahlan. Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor itu meriset 43 pohon yang acap dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan. Ia tertarik untuk meriset lantaran kian meningkatkan konsentrasi karbondioksida di atmosfer, 350 ppm. 'Jika laju penambahan penggunaan bahan bakar minyak dan gas tak berubah, 60 tahun mendatang konsentrasi karbondioksida meningkat menjadi 550 ppm,' katanya.

Padahal, setiap peningkatan 100 ppm karbondioksida menyebabkan melonjaknya suhu 1oC. Harap mafhum, gas yang memiliki berat jenis 1,5 kali lebih besar daripada udara itu menyerap gelombang panjang.

Karbondioksida juga bersifat asfiksian alias menyebabkan tubuh kekurangan oksigen, seolah-olah oksigen di udara sangat rendah. Padahal, konsentrasi gas oksigen di udara tetap: 20,95%. Dalam jangka panjang, karbondioksida yang dihirup manusia mengakibatkan rendahnya kadar oksihemoglobin.

Dalam keadaan ideal, karbondioksida diserap oleh vegetasi di ruang terbuka hijau. Sayangnya, di berbagai daerah ruang terbuka hijau kian menyusut. Menyempitnya ruang terbuka hijau diiringi dengan melonjaknya emisi karbondioksida. Di Bogor, misalnya, emisi gas itu cenderung membubung. Pada 2000 emisi karbondioksida di daerah yang dulu sohor sebagai Kota Hujan itu hanya 4,35, lalu meningkat menjadi 4,60 pada 2001, bahkan 15,36 pada 2007.

Trembesi top

Membudidayakan pohon tertentu di daerah berpolutan, salah satu solusi. Pohon apa yang paling pas? Untuk menjawab pertanyaan itu, Endes N Dahlan selama 2 tahun sejak Maret 2005 meriset kemampuan beragam pohon menyerap karbondioksida. Doktor Ilmu Kehutanan alumnus Institut Pertanian Bogor itu mengambil sampel daun 2 kali. Pertama, sejam menjelang proses fotosintesis atau pukul 05.00 dan ketika proses fotosintesis itu berlangsung pada pukul 10.00. Saat sama, juga terjadi kepadatan lalulintas tertinggi.

Daun diambil dari 2 lokasi berbeda, Kebun Raya Bogor dan Hutan CIFOR (Center International Forestry Research), keduanya di Kotamadya Bogor yang kini mempunyai 3.506 angkutan kota. Pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 26 Desember 1950, itu mengambil 30 gram daun-berbagai umur-dari pohon berdiameter 30-40 cm atau mempunyai ketinggian tajuk yang sama.

Ayah 4 anak itu lantas menuangkan 2 liter alkohol 70% dalam kantong plastik. Daun-daun itu direndam di dalamnya selama 15 menit. Perendaman bertujuan untuk menghentikan laju metabolisme daun. Suami Iyah R Yusliani itu lalu menjemur dan mengoven daun-daun pada suhu 70oC selama 2 hari. Daun keringkerontang itulah yang ia giling sampai halus. Endes kemudian mengayak sampel hingga memperoleh bobot 20 g dan menambahkan 20 ml asam klorida.

Mantan asisten peneliti Seameo Biotrop itu menghidrolisis larutan itu selama 2,5 jam. Larutan yang berubah warna dari kebiruan menjadi merah muda itu diberi 5 ml sengsulfat 5% dan 5 ml barium hidroksida 0,3 N. Larutan itu melarutkan protein. Dengan spektrometer, ia mengukur kadar karbohidrat pada setiap daun.

Dari data itulah pria 57 tahun itu mengkonversi kadar karbohidrat ke serapan karbondioksida. Dalam proses fotosintesis, gas itu diubah menjadi glukosa oleh tanaman (baca: Cara Pohon Serap Karbondioksida halaman 158). Hasilnya, trembesi alias munggur terbukti paling banyak menyerap karbondioksida. Dalam setahun, tanaman yang didatangkan Belanda dari Semenanjung Yucatan, Meksiko, 16.400 km di seberang Jakarta itu menyerap 28.488,39 kg karbondioksida (lihat tabel).

Pilih-pilih

Tanaman anggota famili Fabaceae itu layak ditanam di daerah berpolutan tinggi. Namun, harus dipertimbangkan area penanaman jauh dari gedung atau bangunan. Soalnya, akar pohon yang juga disebut raintree alias kihujan itu mampu menjebol bangunan. Saat ini ketika pemerintah mencanangkan Gerakan Menanam dan Merawat Sepuluh Juta Pohon, idealnya ada seleksi untuk memilih pohon yang tepat.

'Dengan pohon yang tepat, mungkin bukan sepuluh juta pohon yang kita tanam, tapi cukup 500.000 pohon,' ujar Endes. Ia mencontohkan di daerah berpolutan debu besi seperti Kotamadya Cilegon, Provinsi Banten -di sana terdapat pabrik baja PT Krakatau Steel-misalnya, pohon waru Hibiscus sp pilihan paling tepat. Anggota famili Malvaceae itu mampu menyerap 3 kg debu besi setahun. Jika bobot 1 kg besi sekepalan tangan, kerabat bunga sepatu itu menyerap 3 kepalan besi.

Sebaliknya, di wilayah yang kerap tergenang dan kita ingin air cepat surut, sengon- lah paling pas. Evaporasi Albizzia falcata itu sangat tinggi. 'Jadi kita harus tahu tujuan menanam pohon,' katanya. Namun, sayangnya itu tak diterapkan ketika gerakan penghijauan digulirkan.

Gerakan penghijauan semacam itu memang bukan baru sekarang dicanangkan. Provinsi Jakarta, umpamanya, sejak Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) membuat kebijakan menghijaukan kota seluas 650 km2. Kemudian kebijakan Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987-1992) mengembalikan fungsi jalur hijau yang digerogoti perumahan dan perkampungan kumuh. Wiyogo mengatakan untuk mewujudkan lingkungan ideal, Jakarta harus punya ruang terbuka hijau 30% (23.750 ha).

Pada 1992 pemerintah juga meneken Keputusan Presiden No. 20/1992 untuk mengkampanyekan penghijauan. Kini, 15 tahun kemudian pemerintah mencanangkan program serupa. 'Sudah seharusnya seluruh bangsa ke depan menyadari akan pentingnya kegiatan penanaman pohon atau tanaman lainnya sebagai sumber penunjang kehidupan,' kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan hari Bumi 22 April 2006.

Pengamat lingkungan Lukas Adhyakso MSc PhD mengatakan program itu berdampak positif. 'Menambah jumlah pohon berarti meningkatkan fungsi ekologi, misalnya kemampuan pohon menyerap air tanah dan mengurangi polutan,' kata doktor Ilmu Hayat lulusan perguruan tinggi di Skotlandia itu.

Selain itu dampak sosial penghijauan juga sangat besar. Masyarakat perkotaan yang mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki, misalnya, merasa lebih nyaman jika jalanan teduh oleh pohon. Tentu saja agar efektif, tidak sekadar menanam pohon. 'Di Jakarta yang penduduk dan lalulintasnya padat, angsana tidak cocok sebagai penghijauan karena mudah tumbang,' kata master Teknik Lingkungan itu. Singkat kata, tanamlah pohon sesuai peruntukannya.

Referensi:
  • Sardi Duryatmo. “Para Jagoan Serap Karbondioksida”; Trubus 459, Februari 2008