Menurut Dr Nia Rossiana Dhahiyat MS, ahli bioremediasi
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Padjadjaran, anggota famili Pontederiaceae itu memang memiliki daya serap
tinggi terhadap polutan. Karena itu sejak lama eceng gondok dimanfaatkan untuk
mengolah limbah.
Penelitian tentang pengolahan limbah pemotongan hewan ternak menunjukkan eceng gondok mampu mengurangi kadar padatan terlarut pada limbah hingga 23,92 %. Kadar senyawa organik yang tidak terurai secara biologis turun 51,65%, amonia 58%, nitrat 32,07%, dan fosfor total 25,81%.
Eceng gondok juga rakus menyerap unsur hara. Tanaman air itu mampu menyerap 5.850 kg nitrogen/ha/tahun dan 350-1.125 kg fosfor/ha/tahun. Karena itu pertumbuhan eceng gondok sangat cepat yakni mencapai 10 g bobot tanaman/hari.
Namun, pertumbuhan eceng yang cepat itu malah menjadi bumerang. 'Jika populasinya padat akan menghambat aliran air,' ujar Erdi. Sebab itu pula Erdi rutin melakukan penjarangan. Eceng yang dicabut itu dicacah, lalu difermentasi untuk bahan baku pupuk organik.
Bila tidak dijarangkan, tengok kejadian di Danau Rawapening, Kelurahan Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, pada 2007. Saat itu ribuan ikan dalam keramba mati akibat terkurung eceng gondok yang populasinya menutupi 60% permukaan danau seluas 2.200 hektar. Itu pula yang tampak saat populasi eceng meledak di Danau Toba, Sumatera Utara. Tepian Danau Toba ditutupi tumbuhan air mengapung itu, seperti Trubus saksikan di Desa Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan, Simalungun, Sumatera Utara. Maraknya budidaya ikan nila dan mas di keramba jaring apung turut andil menyuburkan tanaman asal Brazil itu. Sisa pakan berubah menjadi amonia yang melambungkan kadar nitrogen. Itulah yang memicu pesatnya perkembangan eceng gondok.
Sejauh ini kehadiran eceng gondok di sentra ikan mas dan nila itu belum memberi dampak buruk. 'Tapi bila dibiarkan populasinya terus bertambah sehingga menghalangi sinar matahari masuk dan fitoplankton, salah satu pakan ikan menjadi mati,' ujar Budi P Nainggolan, dari Tona Toba Nature T2N, lembaga swadaya masyarakat yang aktif melakukan konservasi di Danau Toba.
Permukaan daun eceng yang lebar membuat intensitas penguapan air danau tinggi. 'Lama-kelamaan danau bisa surut,' ujar Dr Tati Subahar, ahli ekologi dan biosistematika Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Kemampuan eceng gondok mengikat padatan terlarut yang tidak terurai juga menjadi ancaman. 'Padatan itu akan terbawa mati. Jika tidak segera diangkat akan mengendap di dasar danau dan menimbulkan pendangkalan,' tutur Budi.
Penelitian tentang pengolahan limbah pemotongan hewan ternak menunjukkan eceng gondok mampu mengurangi kadar padatan terlarut pada limbah hingga 23,92 %. Kadar senyawa organik yang tidak terurai secara biologis turun 51,65%, amonia 58%, nitrat 32,07%, dan fosfor total 25,81%.
Eceng gondok juga rakus menyerap unsur hara. Tanaman air itu mampu menyerap 5.850 kg nitrogen/ha/tahun dan 350-1.125 kg fosfor/ha/tahun. Karena itu pertumbuhan eceng gondok sangat cepat yakni mencapai 10 g bobot tanaman/hari.
Namun, pertumbuhan eceng yang cepat itu malah menjadi bumerang. 'Jika populasinya padat akan menghambat aliran air,' ujar Erdi. Sebab itu pula Erdi rutin melakukan penjarangan. Eceng yang dicabut itu dicacah, lalu difermentasi untuk bahan baku pupuk organik.
Bila tidak dijarangkan, tengok kejadian di Danau Rawapening, Kelurahan Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, pada 2007. Saat itu ribuan ikan dalam keramba mati akibat terkurung eceng gondok yang populasinya menutupi 60% permukaan danau seluas 2.200 hektar. Itu pula yang tampak saat populasi eceng meledak di Danau Toba, Sumatera Utara. Tepian Danau Toba ditutupi tumbuhan air mengapung itu, seperti Trubus saksikan di Desa Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan, Simalungun, Sumatera Utara. Maraknya budidaya ikan nila dan mas di keramba jaring apung turut andil menyuburkan tanaman asal Brazil itu. Sisa pakan berubah menjadi amonia yang melambungkan kadar nitrogen. Itulah yang memicu pesatnya perkembangan eceng gondok.
Sejauh ini kehadiran eceng gondok di sentra ikan mas dan nila itu belum memberi dampak buruk. 'Tapi bila dibiarkan populasinya terus bertambah sehingga menghalangi sinar matahari masuk dan fitoplankton, salah satu pakan ikan menjadi mati,' ujar Budi P Nainggolan, dari Tona Toba Nature T2N, lembaga swadaya masyarakat yang aktif melakukan konservasi di Danau Toba.
Permukaan daun eceng yang lebar membuat intensitas penguapan air danau tinggi. 'Lama-kelamaan danau bisa surut,' ujar Dr Tati Subahar, ahli ekologi dan biosistematika Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Kemampuan eceng gondok mengikat padatan terlarut yang tidak terurai juga menjadi ancaman. 'Padatan itu akan terbawa mati. Jika tidak segera diangkat akan mengendap di dasar danau dan menimbulkan pendangkalan,' tutur Budi.
Itulah sebabnya T2N bekerjasama dengan Daun Ijo, produsen enzim pengurai di Jakarta, memberi pelatihan pemanfaatan eceng gondok kepada warga Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Salah satunya pembuatan pupuk organik. Eceng dicacah lalu dicampur dengan kotoran kerbau dan dedak. Ketiga bahan itu difermentasi memakai enzim pengurai. Untuk 1 ton bahan baku dibutuhkan 1 kg enzim. Pupuk eceng gondok siap digunakan setelah 4 - 5 hari.
Sepak terjang T2N itu tentu saja disambut baik Ober SP Sagala SE, wakil Bupati Samosir. Selama ini tanah Samosir yang cenderung berpasir dan miskin hara menjadi kendala warga untuk bercocok tanam. 'Pupuk eceng gondok menjadi sumber nutrisi baru. Dengan memproduksi pupuk eceng gondok sendiri, diharapkan memacu gairah warga untuk bertani,' ujar Ober.
Pertanian memang bukan sektor andalan Kabupaten Samosir. Warga di sana lebih suka berdagang atau menjadi nelayan. Sejak dulu Samosir menjadi daerah tujuan wisata. Namun, sejak tragedi bom Bali pada 2002, jumlah wisatawan yang berkunjung ke pulau di tengah Danau Toba itu merosot.
Samosir sejatinya memiliki komoditas pertanian andalan seperti bawang merah. Bawang merah samosir sohor lantaran lebih menyengat ketimbang varietas lain yang dibudidaya di Pulau Jawa. Sayang, pada 2004 bawang khas daerah pulau di tengah Danau Toba itu diserang hama ulat tentara sampai-sampai petani kapok menanam. Akibatnya varietas itu kini nyaris punah.
Menurut Dr Ir Tualar Simarmata MS, ahli teknologi pupuk dan pemupukan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, pupuk eceng gondok kaya asam humat. Itu lantaran eceng kaya serat lignin dan selulosa. Hasil penguraian keduanya menghasilkan asam humat.
Senyawa itu menghasilkan fitohormon yang mampu mempercepat pertumbuhan akar tanaman. Dengan begitu tanaman lebih optimal menyerap hara sehingga produktivitas pun meningkat. Itu terbukti pada hasil penelitian Ir Ridha Hudaya MS, staf pengajar Fakultas Pertanian Unpad. Dalam penelitian itu Ridha meneliti efek pemberian pupuk eceng gondok dengan berbagai dosis: 10 ton/ha, 20 ton/ha, dan 30 ton/ha pada tanaman padi.
Hasil penelitian menunjukkan semakin banyak pemberian pupuk organik eceng gondok makin tinggi produktivitas padi. Produksi tertinggi diperoleh setelah menambahkan 30 ton pupuk/ha. Hasil panen mencapai 6,8 ton/ha, lebih tinggi daripada rata-rata produksi padi nasional sekitar 3 - 4 ton/ha.
Sumber : Trubus Edisi 482 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar